ANALISIS ELIPSIS PADA WACANA CERPEN PENGEMBARAAN SARIDIN KARYA S PRASETYO UTOMO
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dalam melaksanakan seluruh kegiatannya selalu melibatkan bahasa sebagai sarana untuk berinteraksi dengan sesamanya. Fungsi bahasa yang utama yaitu sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Dalam berkomunikasi seseorang dapat mengungkapkan gagasan,pikiran, keinginan, menyampaikan pendapat dan informasi melalui bahasa. Begitupun untuk menyampaikan isi imajinasi dan membuat karya sastra, seseorang harus menggunakan bahasa yaitu bahasa tulis. Salah satu caranya ialah dengan menulis cerpen.
Umumnya, sebuah cerpen dianalisis berdasarkan teori sastra dengan berbagai pendekatannya. Akan tetapi, hal itu bukan berarti cerpen tidak bisa dianalisis berdasarkan bahasanya (aspek gramatikal), yakni melalui analisis wacana.
Analisis wacana akan dapat menambah pemahaman terhadap sebuah cerpen, sebab analisis wacana bisa dikatakan sebuah kegiatan analisis yang diarahkan untuk melihat keutuhan makna suatu rangkaian ujar.
Cerpen yang berjudul Pengembaraan Saridin karya S Prasetyo Utomo yang ada pada Kumpulan Cerpen Kompas (http://cerpenkompas.worldpress.com) cukup menarik untuk dianalisis. Analisis wacana akan menemukan keutuhan makna cerpen tersebut berdasarkan konteksnya. Tentunya, analisis wacana terhadap sebuah cerita pendek (cerpen) berbeda dengan kegiatan kajian sastra. Sebab, aspek yang menjadi perhatian utamanya adalah tingkatan gramatikalnya, yakni mengkaji potongan-potongan bahasa yang lebih besar dari sebuah kalimat sebagai suatu kesatuan, selanjutnya memperhatikan konteksnya.
Pada cerpen Pengembaraan Saridin yang ditulis pada tahun 2006 ini, lebih banyak pelesapannya (ellipsis) tinimbang referensi, subtitusi dan yang lainnya. mengapa kondisinya demikian, analisis kontekstual mungkin akan dapat menjawabnya. Akan tetapi untuk melihat maknanya analisis tekstual akan lebih mudah berperan.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk menyajikan makalah yang berjudul “Analisis Elipsis pada Wacana Cerpen Pengembaraan Saridin Karya S Prasetyo Utomo”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pengertian wacana, analisis wacana, dan ellipsis?
2. Bagaimana analisis elipsis pada wacana cerpen Pengembaraan Saridin?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian wacana, analisis wacana, dan ellipsis.
3. Untuk mengetahui analisis elipsis pada wacana cerpen Pengembaraan Saridin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WACANA, ANALISIS WACANA DAN ELIPSIS
1. Pengertian Wacana
Menurut Liliana Muliastuti dan Krisanjaya dalam bukunya Linguistik Umum (2007), wacana adalah rangkaian ujaran lisan maupun tulisan yang mengungkapkan suatu hal, disajikan secara teratur (memiliki kohesi dan koherensi), dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa. Lalu Kridalaksana (2001) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hirearki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (cerpen, novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Henry Guntur Tarigan (dalam Setiawan, 2006:2) mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
2. Pengertian Analisis Wacana
Di sisi lain, analisis wacana menurut Stubbs (dalam Setiawan, 2006:3) ialah suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa; dan oleh karena itu, analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit linguistik, yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks yang tertulis.
Jadi bisa disimpulkan bahwa analisis wacana adalah suatu kegiatan untuk mengkaji suatu satuan bahasa yang terlengkap untuk menghasilkan pengertian yang mendalam.
Menurut Sumarlam dkk dalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana, jenis-jenis analisis wacana ada dua yaitu :
a) Analisis Wacana Tekstual yaitu analisis yang memandang bahwa sebuah wacana terdiri atas bentuk dan makna, maka hubungan antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi.
b) Analisis Wacana Kontekstual yaitu analisis wacana yang mengkaji tentang aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana.
Analisis wacana yang digunakan untuk menganalisis cerpen Pengembaraan Saridin ini adalah analisis wacana tekstual. Analisis wacana tekstual mempunyai dua lingkup penganalisisan yakni analisis aspek gramatikal dan leksikal. Aspek gramatikal wacana menitikberatkan pada segi bentuk dan struktur lahir sebuah wacana. Aspek gramatikal wacana meliputi pengacuan (reference), penyulihan (subtitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjungtion).
3. Pengertian Elipsis
Aspek gramatikal wacana yang dianalis pada cerpen Pengembaraan Saridin ialah pelesapan atau ellipsis. Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yangberlaku (Gorys Keraf, 2004:132).
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang ujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984:45). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian nol (zero) ; sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan demi kepraktisan. Elipsis dapat pula dibedakan atas elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal.
B. ANALISIS WACANA MONOLOG
1. Deskripsi Cerpen Pengembaraan Saridin
Pengembaraan Saridin
Karya: S Prasetyo Utomo
1. Tak ada lagi yang bisa dilacak Saridin. Ia pulang dengan hampa harapan. Tak ditemukan siapa pun di rumah. Telah beberapa hari ini ia ditinggalkan istri. Untuk masuk ke dalam rumah, ia tak dapat. Rumahnya sudah disita bank. Ia termangu di pelataran. Langit memutih. Burung-burung sriti menyambar-nyambar. Gerimis tipis menerpa puncak hidungnya. Tubuhnya menggigil.
2. Sendirian, tanpa cahaya, Saridin terdiam sebeku tugu. Ia kehilangan istrinya, yang memilih lari dengan lelaki lain. Ia kehilangan rumah—yang selama ini menjadi tempat bernaung. Perusahaan pun telah bangkrut, dan seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, sedih dan tak berdaya.
3. Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, cahaya mata yang bersorak. Dada Saridin terberangus. Ia tak meladeni ejekan tetangga sebelah rumah. Saat gerimis turun mulailah ia meninggalkan pelataran rumah, dan tak berpikir untuk membawa apa pun, kecuali dirinya sendiri.
4. Hingga gerimis reda, langit terang, dan matahari bercahaya, Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Meninggalkan kota, merambah desa, dan memasuki hutan belantara. Hutan yang basah, gelap, dipenuhi binatang melata, dan burung-burung berkicau yang tak tampak.
5. Dia duduk di tepi danau. Memandangi air yang tenang. Langit meredup. Matahari semerah ludah pengunyah sirih. Sebundar penampi. Mengendap perlahan-lahan. Cahayanya memantul di atas danau, dan perlahan-lahan lenyap di balik rerimbunan pohon-pohon yang gelap. Kelambit-kelambit dan kelelawar meninggalkan gua persembunyiannya, memenuhi langit.
6. Pada saat matahari tak lagi memerah di lengkung langit, Saridin belum menyadari akan dirinya sendiri. Dia duduk berlama-lama di tepi telaga, di sebuah hutan yang tak dikenalinya. Memang sesekali berkelebat wajah Savitri, istrinya, yang suka mengajaknya duduk berdua di pantai, berdiam diri, saat matahari tenggelam, dan langit meredup perlahan-lahan. Mereka menanti langit timur memunculkan rembulan bundar, dan cahayanya jatuh di atas laut tanpa gelombang, membias di ujung tiang-tiang perahu nelayan yang menembus batas cakrawala.
7. “Aku ingin punya rumah di tepi pantai,” kata Savitri, si penari yang sering memerankan tarian bertopeng di hotel. Savitri memancarkan daya pikat di mata lelaki yang memandanginya. Perempuan itu begitu banyak menggoda lelaki, luwes dan pandai berdandan. Memancarkan pesona sekalipun di luar panggung.
“Kelak kalau perusahaan kita semakin besar, kita dapat membuat rumah di tepi pantai, yang akan kita kunjungi pada waktu berlibur seperti saat ini,” kata Saridin, meyakinkan Savitri.
8. Duduk, berdiam diri, dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput. Berganti-gantian mobil datang pada sore hari dan mengantar kembali keesokan harinya. Ia kehilangan akal untuk melacak apakah istrinya benar-benar menari di hotel, atau hanya sekadar pergi kencan dengan lelaki lain.
9. Ia tak dapat menandai harum tubuh istrinya, apakah sehabis menari, atau sehabis berkencan dengan lelaki lain. Hingga ia selalu menemukan seorang lelaki yang sama, yang terus-menerus datang menjemput dan mengantar pulang keesokan harinya. Savitri biasa menari dengan dua topeng. Topeng yang terpasang di wajah, dan topeng yang terpasang di belakang kepala 1), yang menampakkan dua watak, dua gerakan tari, dan dua ruh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Savitri bisa menari dengan posisi tubuh membelakangi penonton. Topeng yang terpasang di belakang kepalanya memberi kesan dia menari berhadap-hadapan dengan penonton.
10. Kini Saridin mulai bisa memahami makna dua topeng yang terpasang di wajah dan di belakang kepala Savitri. Di wajah terpasang topeng wanita yang lembut, yang memberinya gerakan lamban, ningrat, dan perenungan maha dalam. Di belakang kepala terpasang topeng wanita muda penuh daya pikat, yang memberinya gerakan yang terbuka, cepat, dan menyentak-nyentak berirama.
11. Merenungi diri sendiri, di tepi telaga, dalam pantulan rembulan, Saridin seperti melihat bayangan Savitri menari, terus menari, dan menggerakkan nalurinya. Saridin cuma memandang samar-sama, tak pernah bisa menangkap wajah Savitri yang sesungguhnya. Wajah itu bertopeng ganda. Ia tak pernah bisa dimiliki salah satu di antara dua perangai itu.
“Aku bersedia menikah denganmu. Tapi kau tak akan pernah bisa memilikiku,” kata Savitri bercanda, sebelum mereka menikah.
12. Di permukaan air telaga, dalam bayangan cahaya bulan, Saridin merasa memandang wajah Savitri yang menari, bergantian dalam dua perangai topeng. Tarian itu seperti meledek. Tarian yang menggoda. Tarian dengan gerakan tangan mengibaskan kain yang dapat melemparkannya. Ia terpelanting, dan tersungkur kibasan kain itu.
13. Saridin bangkit, tanpa arah terus melangkah, dan teringat akan bekas sekretaris perusahaannya. Seorang gadis—yang lebih banyak memendam perasaan—senantiasa bersikap santun. Senyuman selalu dipendam, dengan pipi tertakik lesung pipit, samar, tak pernah jelas benar. Sepasang matanya yang cemerlang itu tak pernah mau memandangnya berhadap-hadapan. Mukanya selalu disembunyikan, dan memendam aura kekaguman. Tanjung, gadis itu, selalu menjaga diri. Tak pernah menjengkelkannya. Ia hadir paling pagi. Pulang paling akhir.
14. Yang menarik dari Tanjung adalah matanya. Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Teduh. Memancarkan rasa nyaman. Tapi gadis itu selalu menyembunyikan matanya. Saridin tak pernah melihat mata itu terbuka menatapnya. Mata itu tersembunyi di balik wajah yang menunduk, dagu yang merapat ke dada.
15. Bayangan wajah Tanjung samar-samar singgah di benak Saridin. Ia tak pernah mengagumi wanita yang menyembunyikan wajahnya. Ia mengagumi wanita yang menampakkan aura wajahnya dalam denyar cahaya yang menyergap lelaki dalam pesona yang melumpuhkan. Ia berhadapan dengan Savitri dalam kelumpuhan yang penuh pemujaan. Tapi Tanjung, gadis itu serupa dara di balik tirai 2), yang malu-malu menampakkan diri. Tirai itu telah menjelma selubung rahasia.
16. Saridin melangkah di bawah bayang-bayang bulan purnama, menyusuri jalan mendaki. Ia tak pernah tahu, bila ia sedang mendaki sebuah gunung. Samar-samar kabut mulai menyelubungi hutan. Dingin. Menggigilkan. Tapi Saridin sudah tak peduli. Ia terus melangkah. Terus mendaki.
17. Lelaki itu hanya memperturutkan langkah kaki. Hingga hutan yang didakinya mulai jarang pepohonan. Tak lagi pekat batang-batang pohon dan sulur-sulur daun yang menjerat lehernya. Ia leluasa melihat bulan di langit. Pohon-pohon rimbun yang meneteskan embun mulai menghilang. Hembusan kabut alangkah menggigilkannya. Ia tetap mengikuti jalan setapak yang dilaluinya. Tak diketahuinya jalan itu mengantarkannya ke mana.
18. Ia merambah daerah berbatu, berlumut, dan dingin perdu. Fajar mulai menampakkan biasnya di langit. Ia bersua seorang lelaki tua yang sepasang matanya menyimpan ketenteraman semesta. Lelaki kurus itu duduk di atas batu besar. Bercelana hitam komprang. Berikat kepala. Berdiam diri. Memandangi Saridin dalam diam, dengan mata sedingin kabut.
“Bagaimana kau bisa tersesat kemari?” tanya Mbah Sarijan, lelaku tua itu, dengan lembut dan membuka kesadaran Saridin.
“Aku hanya ingin berjalan kaki. Lain tidak.”
“Barangkali memang takdir kita untuk bersua di sini. Kau serupa layang-layang putus.”
“Boleh aku terus berjalan, mencari cahaya fajar?”
“Kembalilah. Di bumi ini selalu ada cahaya matahari. Hatimu selama ini tertutup kabut. Kembalilah! Di puncak gunung hanya semburan awan panas.”
19. Saridin memandangi Mbah Sarijan. Lekat. Dalam. Ia belum pernah menemukan lelaki setenang itu. Lelaki yang duduk di batu, di lereng gunung, dan tak memerlukan teman. Saridin menjadi sangat penurut. Berhadapan dengan lelaki tua itu, ia tak ingin membantah. Tak ingin menentang. Ia takluk. Dan betapa ketenangan dalam kesendirian lelaki tua itu telah menyatu dengan gunung.
20. Saridin membalikkan tubuh. Melangkah turun gunung. Tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan. Ia memperturutkan langkah kaki, sebagaimana ia memasuki hutan, duduk di telaga, dan mendaki gunung hingga bertemu Mbah Sarijan—lelaki tua yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Lelaki tua itu menghentikan langkah kakinya. Bahkan lelaki tua itu memintanya kembali ke kota. Aneh. Ia begitu saja memperturutkan kemauan Mbah Sarijan, menemukan harapan baru, yang mungkin akan mengejutkannya. Tapi ia masih berharap bahwa yang akan ditemuinya adalah Savitri, perempuan dengan tarian topeng, membawakan gerakan-gerakan lembut, penuh perenungan, dalam kesantunan yang menghanyutkan.
21. Langit telah menjadi terang. Tapi Saridin sedang memasuki hutan yang pekat. Hutan yang menyesatkannya dalam pengembaraan. Kini ia turun dari lereng gunung setelah bertemu Mbah Sarijan. Sesekali mendengar suara gamelan di kejauhan. Membayangkan Savitri menari dengan topeng perempuan santun—bukan perempuan penggoda. Kembali lagi suara gamelan itu hilang. Juga bayangan topeng Savitri lenyap dari pandangan matanya.
22. Tubuh Saridin terhuyung-huyung. Letih, lapar, dan sehari-semalam tak memejamkan mata. Melewati telaga, dia tertatih-tatih. Hutan sudah jauh di belakang punggungnya, dan dia memasuki desa. Gerimis turun. Hari sudah menjelang petang. Dia berharap pada saat pertama bertemu manusia, semoga Savitri yang menjemputnya. Menghampiri dengan suara gamelan dan tarian lembut.
23. Langkah Saridin bergoyang-goyang. Langkahnya kadang tersandung batu. Jari kakinya mengelupas dan berdarah. Dibiarkan saja darah itu menetes, tercecer-cecer di atas rerumputan. Dia ingin bertemu Savitri, yang menari dengan topeng di wajahnya. Lembut. Hangat. Penuh penerimaan.
24. Tatapan Saridin buram, dan bahkan mengabur. Ia tak lagi jelas melihat wajah manusia. Ia menatap setiap wajah bertopeng. Dan setiap orang menari. Dia jadi bimbang. Tapi terus berjalan. Tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda. Orang-orang itu bertopeng. Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Samar. Mirip bayangan. Menghitam.
25. Seorang perempuan muda mengikuti Saridin. Dalam pandangan Saridin, perempuan itu menari. Mengikuti suara gamelan. Senja mulai surut. Saat Saridin tak lagi kuat melangkah, terantuk batu dan tersungkur, perempuan itu memekik. Saridin tak mendengar suara apa pun.
26. Pada saat pertama kali Saridin membuka mata, dia memandang langit-langit kamar yang asing. Mendengar suara yang lirih di dekatnya. Kali ini suara itu sangat dikenalnya. Seorang perempuan muda berada di dekatnya. Ia tak lagi memiliki harapan pada siapa pun. Ia sadar, dirinya sedang tak dihadapkan pada suatu pilihan. Malam telah sangat pekat di luar rumah. Dan perempuan itu tersenyum. Sekali ini perempuan itu menebarkan cahaya mata dengan begitu dekat begitu hangat di wajahnya.
27. Mata itu memerangkap jiwa Saridin. Mata seorang gadis yang selama ini menghindar memandanginya. Kini mata itu terbuka dan melenyapkan tabir yang menyelubunginya.
“Kau tentu berharap Savitri ada di sisimu sekarang,” tegur Tanjung, gadis itu, menyingkap rahasia hati Saridin.
Saridin menggeleng. “Tidak lagi.” Ia merasa aneh. Cahaya mata perempuan itu hangat dan membuka aura telaga. Tubuh Saridin begitu kotor, begitu letih, ingin mencebur ke dalam telaga cahaya mata itu.
28. Dalam hati Saridin tersimpan rahasia mengenai topeng-topeng yang dikenakan Savitri. Topeng-topeng itulah yang menyembunyikan Savitri dalam kegelapan. Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah, yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.
Pandana Merdeka, Juni 2006
2. Analisis Ellipsis
Pelesapan atau penghilangan satuan lingual tertentu sering digunakan para cerpenis supaya efektif (untuk efektivitas kalimat) serta memenuhi nilai estetika. Cerpen Pengembaraan Saridin juga memuat kalimat-kalimat yang mengalami pelesapan. Pelesapan dalam cerpen tersebut dapat ditemukan pada kutipan-kutipan berikut.
a) seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, sedih dan tak berdaya. (paragraf 2)
Pada tuturan di atas terjadi pelesapan satuan lingual berupa klausa seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang. Pelesapan itu terjadi dua kali, pada awal kata kedua dan awal frasa ketiga. Dengan demikian tuturan di atas dapat direpresentasikan kembali di bawah ini.
1) seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, Ø sedih dan Ø tak berdaya.
2) seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang sedih dan seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang tak berdaya.
b) Tetangga sebelah rumah —yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, cahaya mata yang bersorak. (paragraf 3)
Pada tuturan di atas terjadi pelesapan satuan lingual berupa klausa Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan. Pelesapan itu terjadi sekali yakni pada awal klausa kedua. Dengan demikian tuturan di atas dapat direpresentasikan kembali di bawah ini.
1) Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, Ø cahaya mata yang bersorak.
2) Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang bersorak.
Klausa yang terdapat di dalam tanda “–— —“ merupakan penjelasan yang sebenarnya kurang berhubungan dengan isi teks paragraph 3.
c) Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Meninggalkan kota, merambah desa, dan memasuki hutan belantara. (paragraph 4)
Pada tuturan di atas terjadi pelesapan satuan lingual berupa pronomina ia. Pelesapan itu terjadi pada awal klausa ketiga, awal klausa keempat, awal klausa kelima, dan awal klausa keenam. Dengan demikian tuturan di atas dapat direpresentasikan kembali di bawah ini.
1) Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Ø Tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Ø Meninggalkan kota, Ø merambah desa, dan Ø memasuki hutan belantara.
2) Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Ia tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Ia meninggalkan kota, Ia merambah desa, dan Ia memasuki hutan belantara.
Sebenarnya pada klausa pertama dan kedua terdapat jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis. Yaitu pronominal persona I tunggal bebas ia mengacu pada Saridin yang telah disebutkan terdahulu. Sehingga tuturan di atas dapat juga direpresentasikan sebagai berikut.
3) Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Saridin tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Saridin meninggalkan kota, Saridin merambah desa, dan Saridin memasuki hutan belantara.
d) Hutan yang basah, gelap, dipenuhi binatang melata, dan burung-burung berkicau yang tak tampak. (paragraf 4)
Pada tuturan ini, satuan lingual yang mengalami pelesapan berbeda dengan gaya ellipsis yang terdapat pada paragraph-paragraf sebelumnya, sebab satuan lingual nomina hutan dan ajektifa yang (hutan yang) dilesapkan pada awal klausa kedua dan awal klausa ketiga. Sedangkan pada awal klausa keempat, satuan lingual yang dilesapkan ditambah kata yang terdapat pada awal klausa ketiga (hutan yang dipenuhi) sehingga tuturan di atas dapat direpresentasikan kembali di bawah ini.
1) Hutan yang basah, Ø gelap, Ø dipenuhi binatang melata, dan Ø burung-burung berkicau yang tak tampak.
2) Hutan yang basah, hutan yang gelap, hutan yang dipenuhi binatang melata, dan Hutan yang dipenuhi burung-burung berkicau yang tak tampak.
e) Dia duduk di tepi danau. Memandangi air yang tenang. (paragraph 5)
Pada tuturan di atas, terjadi pelesapan pada pronomina dia. Pelesapannya hanya terjadi sekali yakni di awal klausa kedua. Jadi tuturan di atas dapat direpresentasikan lagi sebagai berikut.
1) Dia duduk di tepi danau. Ø Memandangi air yang tenang.
2) Dia duduk di tepi danau. Dia memandangi air yang tenang.
Seperti halnya dengan tuturan pada paragraph 14 yakni: Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Teduh. Memancarkan rasa nyaman. Frasa Mata itu dilesapkan di awal klausa kedua dan awal klausa ketiga. Sehingga tuturan ini bisa direpresentasikan sebagai berikut.
3) Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Ø teduh. Ø memancarkan rasa nyaman.
4) Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Mata itu teduh. Mata itu memancarkan rasa nyaman.
f) Kelambit-kelambit dan kelelawar meninggalkan gua persembunyiannya, memenuhi langit. (paragraf 5)
Pada tuturan ini, pelesapan terjadi pada klausa kelambit-kelambit dan kelelawar. Yakni pada awal klausa kedua. Sehingga dapat direpresentasikan sebagai berikut.
1) Kelambit-kelambit dan kelelawar meninggalkan gua persembunyiannya, Ø memenuhi langit.
2) Kelambit-kelambit dan kelelaawar meninggalkan gua persembunyiannya, kelambit-kelambit dan kelelawar memenuhi langit.
g) Ø Duduk, Ø berdiam diri dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput. (paragraph 8)
Pada tuturan di atas, nomina Saridin dilesapkan pada awal klausa pertama dan awal klausa kedua. Padahal nomina Saridin ada pada awal klausa ketiga. Sehingga tuturan di atas dapat direpresentasikan seperti di bawah ini.
1) Ø Duduk, Ø berdiam diri dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput.
2) Saridin duduk, Saridin berdiam diri dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput.
h) Saridin membalikkan tubuh. Melangkah turun gunung. Tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan (paragraph 20)
Pada tuturan di atas nomina Saridin dilesapkan pada awal klausa kedua dan awal klausa ketiga. Sehingga tuturan d atas dapat direpresentasikan kembali seperti berikut.
1) Saridin membalikkan tubuh. Ø melangkah turun gunung. Ø tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan
2) Saridin membalikkan tubuh. Saridin melangkah turun gunung. Saridin tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan.
i) Dibiarkan saja darah itu menetes, tercecer-cecer di atas rerumputan. (paragraf 23)
Pada tuturan ini, klausa dibiarkan saja darah itu dilesapkan pada awal klausa kedua.
1) Dibiarkan saja darah itu menetes, Ø tercecer-cecer di atas rerumputan.
2) Dibiarkan saja darah itu menetes, dibiarkan saja darah itu tercecer-cecer di atas rerumputan.
j) Tatapan Saridin buram, dan bahkan mengabur. (paragraf 24)
Pada tuturan ini, frasa tatapan Saridin dilesapkan di tengah klausa kedua. Sehingga tuturan ini dapat direpresentasikan sebagai berikut.
1) Tatapan Saridin buram, dan bahkan Ø mengabur.
2) Tatapan Saridin buram, dan bahkan tatapan Saridin mengabur.
k) Dia jadi bimbang. Tapi terus berjalan. Tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda. (paragraf 24)
Pada tuturan dia atas, ponomina dia dilesapkan di tengah klausa kedua, di awal klausa ketiga, selanjutnya pada klausa terakhir pronomina dia yang dilesapkan mengalami penambahan klausa sebelumnya tak lagi bisa membedakan orang itu. Sehingga tuturan di atas dapat direpresentasikan kembali seperti di bawah ini.
1) Dia jadi bimbang. Tapi Ø terus berjalan. Ø tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, Ø Ø tua atau muda.
2) Dia jadi bimbang. Tapi dia terus berjalan. Dia tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, Dia tak lagi bisa membedakan orang itu tua atau muda.
l) Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Samar. Mirip bayangan. Menghitam. (paragraf 24)
Ada yang menarik dengan tuturan di atas. Mulanya kata semua tidak dilesapkan. Akan tetapi selanjutnya dilesapkan yakni pada awal klausa ke empat, awal klausa kelima, dan awal klausa keenam. Sehingga tuturan di atas dapat direpresentasikan lagi seperti berikut.
1) Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Ø Samar. Ø Mirip bayangan. Ø Menghitam
2) Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Semua samar. Semua mirip bayangan. Semua menghitam.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Melihat setiap representasi tuturan yang telah difahami apa yang dilesapkannya serta dimana posisi pelesapannya, dapat dibenarkan bahwa ellipsis sebagaimana fungsinya mampu mengefektifkan sebuah tuturan atau kalimat. Tentunya tanpa menghilangkan makna yang ingin disampaikan. Juga kegiatan ellipsis lebih memiliki nilai-nilai estetika tinimbang jika kalimat-kalimat yang seharusnya dilesapkan malah ditulis panjang-panjang. Cerpen Pengembaraan Saridin ternyata memang banyak menggunakan gaya ellipsis. Paling tidak tercatat adanya ellipsis tidak kurang dari 12 elipsis yang dilakukan.
B. Saran
untuk memahami suatu wacana secara utuh sebenarnya tidak cukup hanya dengan satu perangkat analisis wacana saja. Harus secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengkajian lebih lanjut penulis harapkan terkhusus untuk memahami cerpen yang penulis kaji ini.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Setiawan. 2006. Analisis Wacana. Surakarta : UNS.
Ibadiyah, Liana Yusoli. 2010. Analisis Wacana Tekstual dan Kongtekstual. [online] tersedia: http://frezeamenadivine.blogspot.com
Kridalaksana, 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawan, Okta. 2002. Terampil Berwacana Terampil Berbahasa. Warta Dephan RI No. 97 Th. XIV edisi September – Oktober 2002.
Sudijah.S. 1994. Analisis Wacana: Suatu Pengantar. [online] tersedia: http://sudijah.wordpress.com
How to play slots - DrmCD
BalasHapusSlots. If you're 충주 출장마사지 a fan 전라북도 출장마사지 of 안양 출장안마 slot machines and table games, this is your game. Here's 광명 출장마사지 how to play slot machines - including video poker, craps, blackjack, 천안 출장안마