RINDU

Cerpen Karya Marjan Fariq
Entah apa yang merasuki jiwa Ki Harun, hari ini ia bertekad mencari anaknya yang sudah dua puluh tahun meninggalkannya. Ia tak mau gagal lagi seperti pencarian-pencarian dahulu. Kini Ki Harun telah sampai di Ibu Kota Jakarta. Ajaib memang, tidak tahu bagaimana orang tua ini bisa sampai di kota yang mengerikan itu. Ki harun hanya dinaikkan seorang calo dari terminal Banjar. Ia tak tahu jika mobil yang di dalamnya terdapat puluhan kursi akan mengantarnya ke terminal Rambutan, sebuah tempat yang dikelilingi orang aneh. Orang-orang yang baru menginjakkan kakinya di sini akan bingung. Harus kemana dan apa yang harus dilakukan. Begitu juga dengan Ki Harun. Diusapnya peluh yang tak henti-hentinya mengalir menguras cairan yang ada di tubuh keriputnya.
“Mau kemana kek?” Tanya seorang pemuda yang dari tadi memperhatikan tingkah Ki Harun.
Ki Harun tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala. Begitu polos, ia benar-benar tidak tahu harus kemana, yang ia inginkan hanyalah berjumpa dengan anaknya.  
“Apa kakek baru datang dari kampung?” Tanya pemuda itu lagi penuh simpati.
Ki Harun tidak mengucapkan satu patah kata pun. Ia mengeluarkan secarik foto dari saku bajunya yang sudah basah.
“Kakek mencari orang ini?” Tanya pemuda itu lagi sambil menunjuk foto seseorang yang kira-kira umurnya 20 tahun. Ia seperti pernah melihat orang di foto itu, tapi ia yakin pasti itu orang yang berbeda.
Ki Harun mengangguk. Diperhatikannya sosok pemuda yang dari tadi mengintrogasinya seperti polisi itu. Badannya tegap ditutupi jaket kulit berwarna hitam. Tampangnya seperti orang baik, tapi ia menyeringai seperti ingin menerkam. Lalu mata  sayu Ki Harun ditujukan ke foto anaknya.
“Oh, bukan kek. Saya bukan orang di foto itu. Tapi saya bisa antar kakek ke orang ini.”
Ki Harun sumringah mendengar ucapan si pemuda. Dibayangkannya Ibnu tersenyum menyambut kedatangannya. Lalu anak-anak Ibnu mengecup punggung tangan kanannya. Ya, seketika Ki Harun seperti berada di mimpinya. Sementara si pemuda telah mengajak kakek itu menuju mobil pribadinya. Ia membawakan tas yang dari tadi dijinjing Ki Harun.
Ada seseorang lagi yang duduk di depan stir. Ki harun duduk di belakang mobil sendirian. Ia tahu, pemuda yang mengajaknya ini tidak harus ia percayai. Tapi ia yakin, apa pun yang akan terjadi pasti akan mengantarkannya pada Ibnu.
Mobil itu telah satu jam melaju di Tol. Tiba-tiba sang sopir memperlambat kecepatannya dan berhenti di sisi kiri jalan Tol.
“Kek, sepertinya mobil ini tidak akan membawa kakek lebih jauh. Sebaiknya Kakek turun dari mobil.” Kata si pemuda dengan nada tenang.
Ki Harun tidak mengerti dengan ucapan lembut itu. Ia tak yakin apakah pemuda itu ingin menelantarkannya.
“Kelamaan lo basa-basinya!” Ucap si sopir yang kemudian turun dan membuka pintu belakang mobil.
“Turun Kek!” Hardiknya sambil menyeret kerah baju yang dikenakan Ki Harun.
Ki harun tersungkur ke tanah yang ada di sisi bahu jalan. Terik matahari masih tak bosan-bosannya membakar tubuh si Kakek yang ditinggalkan begitu saja.
“Emang orang tua bego. Ha ha ha. Bener-bener jahat lo.” Kata si pemuda dengan tawa jahatnya.
“Lumayan, tua-tua begitu uangnya banyak nih.” Tambahnya sambil menunjukkan uang Ki Harun yang diambil dari tasnya.   
Ki Harun tertunduk sendiri di pinggir jalan. Air matanya mengalir. Ia menangis bukan karena telah dirampok. Tapi keyakinannya mulai pudar untuk bertemu dengan Ibnu. Ia bahkan tidak tahu ada di belahan bumi yang mana. Tidak ada orang yang berlalu lalang. Yang ada hanyalah hamparan jalan dan roda-roda besi yang melaju cepat membawa beban di atasnya. Ada mobil bercat putih dengan lampu merah biru yang melintas. Tapi mobil itu sedang mengejar truk over load yang melaju di depannya. ***
“ Apa yang kau dapatkan hari ini?” Tanya seseorang ketika si pemuda yang merampok Ki Harun datang.
“Hari ini hanya dapat kalung, cincin dan uang-uang ini.”
“Lo kira setoran angkot. Apa lagi yang lo dapet?”
“Sumpah bos hanya itu. Kita Cuma narik dari seorang nenek dan seorang kakek.”
“Hah. Ha ha ha. Udah selama ini lo beraninya sama orang tua aja. Dasar penakut. Sini semua, ini bagian lo. Mana kuncinya?”
Seseorang yang dipanggil bos itu melajukan mobil mini bus yang tadi digunakan untuk merampok Ki Harun. Dari kursi kemudinya ia melihat tas Ki Harun yang resletingnya terbuka. Ada buku yang sepertinya ia kenal. Ia mengambilnya, ternyata itu sebuah album foto. Reflek kakinya menginjak rem menghentikan laju mini bus. Ya, ia tahu album foto itu. Itu adalah foto-foto masa kecilnya. Ingatan-ingatan yang sudah susah-susah dihapus dari memorinya kembali menyeruak.***
Pak Harun, ayahnya, ia adalah orang baik. Baik di masyarakat baik juga di keluarganya. Ia adalah suami yang menyayangi istri dan anak-anaknya. Terutama kepadanya. Pak Harun mungkin termasuk orang-orang soleh. Istilah orang baik yang ada di Banjar. Bagaimana tidak, pak Harun begitu rajin mengajak teman-teman Ibnu ke masjid untuk solat berjamaah. Tapi remaja Ibnu tak menyukai tingkahnya. Gara-gara ayahnya ia sering diejek oleh teman-temannya. Ya, teman-temannya yang sedikit mendapat bimbingan agama itu selalu bilang ayah Ibnu orang yang sok alim. Mereka jengkel dengan perintah Pak Harun. Dan puncaknya ketika Ibnu berumur 20 tahun. Teman-temannya membuat pilihan, pergi ke masjid dengan Pak Harun atau minum-minuman keras bersama di rumahnya si Juned. Tentu Ibnu lebih memilih pergi bersama teman-temannya. Pak Harun yang mengetahui anaknya ada di rumah si Juned menyeret Ibnu dari rumah Juned menuju masjid. Teman-temannya melongo memperhatikan kemarahan Pak Harun. Malamnya Ibnu kabur dari rumah. Ada harapan ayahnya akan mencarinya, tapi berita itu tak pernah didengarnya. Malahan ia yakin, ayahnya tidak menganggapnya sebagai anak lagi.***
Seorang polisi menghampiri Ibnu membuyarkan lamunannya.
“Selamat malam pak. Bisa tunjukkan SIM dan STNK-nya? Anda tidak diperkenankan menghentikan mobil di sini.” Kata polisi itu sambil menunjukk hurup P yang diberi palang.
Alih-alih mengikuti perintahnya, Ibnu malah menarik kerah baju polisi itu dan… BUK. Dihantamnya kepala si polisi ke atap mobilnya sehingga polisi itu terhuyung jatuh.
Sial memang nasib polisi itu, ia jadi korban kemarahan Ibnu karena teringat masa lalunya. Ibnu sudah 20 tahun tidak bertemu ayahnya. Ia marah dan benci. Ia tak mau lagi berjumpa dengan ayahnya. Tapi ia sadar, album foto itu ada di pangkuannya pasti karena dibawa oleh ayahnya. Dan ia teringat ucapan si Jack yang yang baru saja merampok seorang kakek. Bagaimanapun ia tahu, ayahnya yang sudah tua renta pasti sedang dalam masalah besar. Ah, ia tak bisa bayangkan bagaimana keadaannya.
“Dimana lo rampok kakek yang tadi?” Tanya Ibnu ke orang di seberang telepon.
“Gue ajak dari Rambutan. Gue tinggalin die di Tol Serpong. Emangnya ada apa Bos?”
Buru-buru Ibnu menutup sambungan telponnya. Kemudian pergi menuju Tol Serpong. Cepat sekali Ibnu telah sampai di tempat Ki Harun diterlantarkan. Ia tahu, si Jack akan menurunkan korbannya di tempat itu. Tapi di situ tidak ada siapa-siapa. Ia berpikir kemana ayahnya akan pergi. Ia tahu, dua kilometer dari tempat itu ada SPBU. Ya, ia yakin harus ke sana.
“Apa Anda melihat kakek-kakek yang datang ke sini?” Tanya Ibnu pada petugas SPBU.
“Kasihan sekali kakek itu. Apa Anda kerabatnya? Ia di sana.” Jawab si petugas sambil menunjuk sebuah mushola.
Melihat ayahnya sedang melaksanakan salat di dalam mushola, kebencian Ibnu luluh seketika. Entah hal apa yang mendorongnya sehingga ia mengikuti perilaku ayahnya. Ia mengambil air wudlu dan menjadi makmum di samping ayahnya. Selesai salat, Ki Harun memperhatikan anaknya yang masih melanjutkan salat Isya. Setelah semuanya selesai mereka bertatapan.
“Hampura bapak, jang. Sagala kalepatan aya dipayuneun anjeun. Mugia ujang sadia ngahampura. Bapak tos 5 uihan milarian ujang.” Ucap Ki Harun sembari meneteskan air mata. Kata-kata yang diucapkannya ini telah ia hapal selama 20 tahun. Sejak kepergian Ibnu, ia sadar didikannya yang keras pada Ibnu tidak membawa kebaikan sama sekali. 
Ibnu tidak menjawab ia hanya memeluk ayahnya dengan erat.###  
Ki Harun sudah ada di dalam bis yang akan mengantarnya pulang. Ia sendirian seperti saat ia datang ke Jakarta. Tapi kini perasaannya tak sendiri lagi. Ia lega karena sudah berhasil menemui Ibnu. Meskipun, Ibnu menolak diajak pulang. Ya, Ibnu telah membuat sebuah pilihan. Pilihan hidupnya yang ia yakin harus dijalaninya. Bukan menjadi santri di kampung halamannya, bukan pula menjadi perantau sejati di Kota Jakarta. Ia adalah Bos besar bagi banyak anak buahnya. Pelindung para pelacur, dan sebagai pengelola keamanan beberapa kawasan. Tidak mudah bagi Ki Harun untuk mengembalikan anaknya ke jalan yang lurus. Ia tak perduli anaknya jadi orang seperti apa, ia akan tetap menyayanginya. Ia juga bertekad untuk terus berusaha dan berdoa supaya Ibnu menjadi Ibnu yang diharapkannya.

“Rek jadi naon wae, ujang tetep anak Bapak. Bapak moal eureun mamatahan anjeun, sanajan anjeun teu kersa ngadangu papatah Bapak.” Ucap Ki Harun di akhir perpisahannya dengan Ibnu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH DRAMA LUMPUR KEMISKINAN

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA “MONUMEN” KARYA INDRA TRANGGONO

UNSUR INTRINSIK DRAMA IBLIS KARYA MOHAMMAD DIPONEGORO