BIOGRAFI SASTRAWAN
Putu Wijaya
Sastrawan Serba Bisa
Nama:
I Gusti Ngurah Putu Wijaya
Lahir:
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944
Istri:
Dewi Pramunawati
Anak:
I Gusti Ngurah Taksu Wijaya
Ayah/Ibu:
Gusti Ngurah Raka/Mekel Erwati
Agama:
Hindu
Pendidikan:
- SR, Tabanan (1956)
- SMP Negeri, Tabanan (1959)
- SMA-A, Singaraja (1962)
- Fakultas Hukum UGM (1969)
- ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
- LPPM, Jakarta (1981)
- International Writing Programme, Iowa, AS (1974)
Karir:
- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
- Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram
- Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.
Kegiatan Lain:
- Wartawan majalah Ekspres (1969)
- Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
- Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
- Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
- Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)
Karya Drama:
Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor
Karya Novel:
Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho (1982), Nyali (semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995)
Karya Cerpen:
Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999)
Karya Novelet:
MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), dan Sah (1977)
Karya Esai:
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan:
- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya)
- Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
- Pemenang penulisan novel IKAPI
- Pemenang penulisan drama BPTNI
- Pemenang penulisan drama Safari
- Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
- Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
- Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
- Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
- Pemenang penulisan esei DKJ
- Dua kali pemenang penulisan novel Femina
- Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
- Pemenang penulisan cerpen Kartini
- Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
- Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
- SEA Write Award 1980 di Bangkok
- Pemenang penulisan esei Kompas
- Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)
- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
Alamat Kantor:
Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350
Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828
Alamat Rumah:
Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta Selatan
Telepon/Faksimile (021) 7444678
Email:
wijayaputu@hotmail.com
Sumber:
Dari berbagai sumber
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu. ►ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
W.S. Rendra (1935-2009)
Kepiawaian Si Burung Merak
rpr Nama:
WS Rendra
Nama Lengkap:
Willibrordus Surendra Broto Rendra
Nama Terakhir:
Wahyu Sulaiman Rendra
Lahir:
Solo, 7 Nopember 1935
Meninggal:
Jakarta, 6 Agustus 2009
Agama:
Islam
Istri:
- Sunarti Suwandi (Nikah 31 Maret 1959 dikaruniai lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
- Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Agustus 1970, dikaruniai empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Cerai 1979)
- Ken Zuraida (dikaruniai dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).
Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)
Karya-Karya
Drama:
- Orang-orang di Tikungan Jalan
- SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
- Oedipus Rex
- Kasidah Barzanji
- Perang Troya tidak Akan Meletus
- dll
Sajak/Puisi:
- Jangan Takut Ibu
- Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Empat Kumpulan Sajak
- Rick dari Corona
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
- Pesan Pencopet kepada Pacarnya
- Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
- Perjuangan Suku Naga
- Blues untuk Bonnie
- Pamphleten van een Dichter
- State of Emergency
- Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
- Mencari Bapak
- Rumpun Alang-alang
- Surat Cinta
- dll
Kegiatan lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih
Penghargaan:
- Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
- Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
- Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
Sastrawan WS Rendra meninggal dunia di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.10. Ia menderita penyakit jantung koroner. Dimakamkan setelah shalat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Sebelumnya, ia dirawat di Rumah Sakit Cinere sejak 25 Juni. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik, Rendra lalu dirujuk dirawat di RS Harapan Kita di Jakarta Barat, sebelum akhirnya ke RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading.
***
Meski usianya 70-an tahun, kepak sayap si penyair berjuluk "Si Burung Merak" ini masih kuat dan tangkas. Suaranya masih lantang dan sangatlah mahir memainkan irama serta tempo. Kepiawaian pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta, ini membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara.
WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.
Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tersebut, ia telah giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari Departemen P & K Yogyakarta.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik.
Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Di samping karya berbau protes, dramawan kelahiran Solo, Nopember 1953, ini juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.
Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.
Beberapa waktu lalu, ia turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 22 Juli 2004. Dalam acara itu, ia menyuguhkan dua puisi balada yang berkisah tentang penderitaan wanita di daerah konflik berjudul Jangan Takut Ibu dan kegalauan penyair terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, lelaki yang akrab dipanggil Willy ini didampingi pengusaha Setiawan Djody membacakan puisi berjudul Menang karya Susilo Bambang Yudhoyono.
Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, seperti Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1957, Anugerah Seni dari Departemen P & K pada tahun 1969, Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada tahun 1975, dan lain sebagainya.
Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.
Itulah Rendra, si bintang panggung yang selalu memukau para penontonnya setiap kali membaca sajaknya maupun melakoni dramanya. ►atur-juka
======================
Rendra dan Ajaran Kepedulian
DAHONO FITRIANTO
"Dengan rasa hormat dan perasaan yang tulus, saya ucapkan terima kasih kepada Freedom Institute dan Keluarga Bakrie, yang dengan khidmat meneruskan cita-cita dan laku kebajikan almarhum Bapak Achmad Bakrie. Selanjutnya, saya juga mengucapkan simpati yang dalam kepada Keluarga Bakrie yang lagi terlanda musibah karena, tanpa diketahuinya, telah terseret dalam kemelut yang diciptakan oleh PT Lapindo Brantas, yang telah melakukan kesalahan fatal di dalam operasi eksplorasi yang mengakibatkan banjir lumpur di Jawa Timur."
Itulah kutipan pidato yang disampaikan Rendra sesaat setelah menerima penghargaan Achmad Bakrie Award 2006 untuk Kesusastraan di Hotel Nikko Jakarta, Jakarta, Senin (14/8) malam. Selain Rendra, dua tokoh lainnya juga menerima penghargaan dan hadiah uang yang jumlahnya sama, Rp 100 juta, yakni Arief Budiman untuk kategori Pemikiran Sosial dan Iskandar Wahidiyat untuk kategori Kedokteran.
Pidato tersebut berbeda dengan naskah pidato resmi Rendra yang dicetak pada booklet acara malam itu, dan tentu saja membuat kaget seluruh hadirin. Bermacam-macam reaksi mengiringi kekagetan itu, ada yang tertawa ngakak, ada yang bertepuk tangan, tetapi ada juga yang diam saja.
Bukan Rendra apabila dia tidak nakal dan aktual. Sebuah pidato penerimaan penghargaan yang seharusnya resmi dibacakan dengan gaya membaca puisi-puisinya—suara menggelegar dan intonasi khusus pada kata- kata tertentu yang membuat orang tercekat. Isinya pun nakal, menyentil langsung sang pemberi penghargaan yang kebetulan adalah salah satu pemilik perusahaan penyebab tragedi banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Semua orang tahu bencana itu adalah masalah besar paling aktual yang terjadi di dalam negeri saat ini. "Tiga desa telah tenggelam dan tidak bisa dihuni lagi. Lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan terpaksa tutup dan menimbulkan masalah sosial ekonomi. Delta Sungai Brantas yang subur, yang proses pembentukannya berabad-abad melebihi usia peradaban manusia, hancur tertimbun lumpur untuk selamalamanya," papar Rendra puitis.
Sentilan terhadap kelambanan penanganan tragedi yang dramatis tersebut dilakukan dengan halus dalam bentuk harapan. "Tetap saya yakin bahwa Keluarga Bakrie tidak akan berpangku tangan dalam hal ini. Keluarga Bakrie pasti akan mengerahkan segenap usaha untuk bertanggung jawab atas kecerobohan pekerja dan orang-orang di PT Lapindo Brantas." Kata "pasti" diucapkan Rendra dengan penekanan dan suara menggelegar.
Itulah Rendra, penyair, sastrawan, aktor, dan sutradara teater kelahiran Solo, 7 November 1935. Dalam keterangan resmi Freedom Institute sebagai lembaga yang menyeleksi dan memutuskan penerima penghargaan ini, disebutkan bahwa Rendra terpilih sebagai penerima Achmad Bakrie Award 2006 karena dia telah menunjukkan jalan lain perpuisian Indonesia.
Rendra disebut telah membuat sebuah pengecualian dalam arus utama perpuisian Indonesia modern yang didominasi sajak-sajak liris. Puisi Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. "Membuat ia menempati posisi yang begitu unik, hampir seperti satuan tersendiri, dalam ranah sastra Indonesia," demikian penggalan bunyi pernyataan tersebut.
Kepedulian terhadap dunia sekitarnya terekam dalam karya-karya Rendra. Simak beberapa karya besarnya, seperti puisi Sajak Sebatang Lisong (1978), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), dan Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta! (1970-an) atau karya-karya pementasan teater seperti Perjuangan Suku Naga (1975) dan Panembahan Reso (1986), sarat berisi kritik sosial terhadap berbagai hal yang terjadi di masyarakat pada waktu itu—yang kadang masih tetap relevan sampai sekarang.
Tumbuhnya kesadaran
Dalam pidato tertulis penerimaan Achmad Bakrie Award 2006, yang seharusnya ia bacakan, Rendra menuturkan, kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya oleh seseorang bernama Janadi. "Mas Janadi menjadi guru pribadi saya sejak saya berumur 4,5 tahun," tutur penyair bernama asli Willybrordus Surendra Broto Rendra, mengenang masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah.
Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat "Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi" yang artinya kurang lebih: "masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah". "Masuk dalam kontekstualitas itu bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih)," papar pria yang akrab dipanggil Willy ini.
Rendra juga diajarkan untuk menyadari landasan hubungan antarmanusia dalam konteks emansipasi individu yang digambarkan dalam kalimat "ananingsun marganira, ananira marganingsun" (aku ada karena kamu, kamu ada karena aku). Kalimat itu juga yang ia kutip malam itu untuk mengkritik Freedom Institute yang mendukung sistem perdagangan bebas.
"Emansipasi individu yang peduli akan kesetaraan hak hukum, hak sosial, dan hak politik antarsesama manusia harus dengan kesadaran bahwa kekuasaan modal, distribusi, dan energi, tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak dengan kebebasan yang romantis dan cengeng. Sebab, itu akan mengganggu kemaslahatan orang banyak." (Kompas, Rabu, 16 Agustus 2006)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Penghargaan:SEA Write Award Tahun:1990 Penerima:Arifin C. Noor Biografi
Arifin C. Noor lahir 10 Maret 1941 di Cirebon, Jawa Barat dan meninggal 28 Mei 1995 di Jakarta. Ia adalah seorang penyair, aktor, penulis lakon, dan sutradara. Ia menulis puisi dan drama sejak duduk di SLTA. Kecintaannya kepada puisi dan teater berkembang di Yogyakarta sekitar tahun 60-an melalui Lingkaran Drama Rendra dan Teater Muslim. Sejak pindah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil (1968), Ia semakin mengggeluti dunia kesenian. Puluhan lakon, baik karyanya sendiri maupun karya terjemahan, sukses disutradarai dan dipentaskannya. Ia memperoleh Anugerah Seni dan Pemerintah Indonesia (1972) dan Hadiah Sastra ASEAN (1990). Selain itu, iajuga mendapat Piala Citra dan FFI dan Piala Golden Harvest dan FFA. Dramanya antara lain: Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah Jalan Kecil (1963), Tercinta (1963), Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-umang (1974). Sondek, Pemuda Pekerja (1979) dan Sumur Tanpa Dasar (1989). Kumpulan sajaknya: Nurul Aini (1963), Siti Aisah (1964), Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi (1967), dan Selamat Pagi, Jajang (1979). Selain itu, ia juga menyutradarai beberapa buah film, antara lain, Suci Sang Primadona (1978), Harmonikaku (1979), Sumur Tanpa Dasar (1989), dan Serangan Fajar (1981).
Sastrawan Serba Bisa
Nama:
I Gusti Ngurah Putu Wijaya
Lahir:
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944
Istri:
Dewi Pramunawati
Anak:
I Gusti Ngurah Taksu Wijaya
Ayah/Ibu:
Gusti Ngurah Raka/Mekel Erwati
Agama:
Hindu
Pendidikan:
- SR, Tabanan (1956)
- SMP Negeri, Tabanan (1959)
- SMA-A, Singaraja (1962)
- Fakultas Hukum UGM (1969)
- ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
- LPPM, Jakarta (1981)
- International Writing Programme, Iowa, AS (1974)
Karir:
- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
- Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram
- Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.
Kegiatan Lain:
- Wartawan majalah Ekspres (1969)
- Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
- Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
- Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
- Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)
Karya Drama:
Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan, Hum-Pim-Pah, Dor, Blong, Ayo, Awas, Los, Aum, Zat, Tai, Front, Aib, Wah, Hah, Jpret, Aeng, Aut, dan Dar-Dir-Dor
Karya Novel:
Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho (1982), Nyali (semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996), Sobat (1981), Tiba-Tiba Malam (1977), Pol (1987), Terror (1991), Merdeka (1994), Perang (1992), Lima (1992), Nol (1992), Dang Dut (1992), Cas-Cis-Cus (1995)
Karya Cerpen:
Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978), Es (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), Yel (1995), Blok (1994), Zig Zag (1996), dan Tidak (1999)
Karya Novelet:
MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), dan Sah (1977)
Karya Esai:
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan:
- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya)
- Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
- Pemenang penulisan novel IKAPI
- Pemenang penulisan drama BPTNI
- Pemenang penulisan drama Safari
- Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
- Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
- Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
- Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
- Pemenang penulisan esei DKJ
- Dua kali pemenang penulisan novel Femina
- Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
- Pemenang penulisan cerpen Kartini
- Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
- Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
- SEA Write Award 1980 di Bangkok
- Pemenang penulisan esei Kompas
- Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)
- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
Alamat Kantor:
Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350
Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828
Alamat Rumah:
Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta Selatan
Telepon/Faksimile (021) 7444678
Email:
wijayaputu@hotmail.com
Sumber:
Dari berbagai sumber
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.
Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.
Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.
Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.
Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu. ►ti/atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
W.S. Rendra (1935-2009)
Kepiawaian Si Burung Merak
rpr Nama:
WS Rendra
Nama Lengkap:
Willibrordus Surendra Broto Rendra
Nama Terakhir:
Wahyu Sulaiman Rendra
Lahir:
Solo, 7 Nopember 1935
Meninggal:
Jakarta, 6 Agustus 2009
Agama:
Islam
Istri:
- Sunarti Suwandi (Nikah 31 Maret 1959 dikaruniai lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
- Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Agustus 1970, dikaruniai empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Cerai 1979)
- Ken Zuraida (dikaruniai dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).
Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)
Karya-Karya
Drama:
- Orang-orang di Tikungan Jalan
- SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
- Oedipus Rex
- Kasidah Barzanji
- Perang Troya tidak Akan Meletus
- dll
Sajak/Puisi:
- Jangan Takut Ibu
- Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Empat Kumpulan Sajak
- Rick dari Corona
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
- Pesan Pencopet kepada Pacarnya
- Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
- Perjuangan Suku Naga
- Blues untuk Bonnie
- Pamphleten van een Dichter
- State of Emergency
- Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
- Mencari Bapak
- Rumpun Alang-alang
- Surat Cinta
- dll
Kegiatan lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih
Penghargaan:
- Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
- Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
- Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
Sastrawan WS Rendra meninggal dunia di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.10. Ia menderita penyakit jantung koroner. Dimakamkan setelah shalat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Sebelumnya, ia dirawat di Rumah Sakit Cinere sejak 25 Juni. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik, Rendra lalu dirujuk dirawat di RS Harapan Kita di Jakarta Barat, sebelum akhirnya ke RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading.
***
Meski usianya 70-an tahun, kepak sayap si penyair berjuluk "Si Burung Merak" ini masih kuat dan tangkas. Suaranya masih lantang dan sangatlah mahir memainkan irama serta tempo. Kepiawaian pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta, ini membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara.
WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.
Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tersebut, ia telah giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari Departemen P & K Yogyakarta.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik.
Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Di samping karya berbau protes, dramawan kelahiran Solo, Nopember 1953, ini juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.
Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.
Beberapa waktu lalu, ia turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 22 Juli 2004. Dalam acara itu, ia menyuguhkan dua puisi balada yang berkisah tentang penderitaan wanita di daerah konflik berjudul Jangan Takut Ibu dan kegalauan penyair terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, lelaki yang akrab dipanggil Willy ini didampingi pengusaha Setiawan Djody membacakan puisi berjudul Menang karya Susilo Bambang Yudhoyono.
Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, seperti Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1957, Anugerah Seni dari Departemen P & K pada tahun 1969, Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada tahun 1975, dan lain sebagainya.
Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.
Itulah Rendra, si bintang panggung yang selalu memukau para penontonnya setiap kali membaca sajaknya maupun melakoni dramanya. ►atur-juka
======================
Rendra dan Ajaran Kepedulian
DAHONO FITRIANTO
"Dengan rasa hormat dan perasaan yang tulus, saya ucapkan terima kasih kepada Freedom Institute dan Keluarga Bakrie, yang dengan khidmat meneruskan cita-cita dan laku kebajikan almarhum Bapak Achmad Bakrie. Selanjutnya, saya juga mengucapkan simpati yang dalam kepada Keluarga Bakrie yang lagi terlanda musibah karena, tanpa diketahuinya, telah terseret dalam kemelut yang diciptakan oleh PT Lapindo Brantas, yang telah melakukan kesalahan fatal di dalam operasi eksplorasi yang mengakibatkan banjir lumpur di Jawa Timur."
Itulah kutipan pidato yang disampaikan Rendra sesaat setelah menerima penghargaan Achmad Bakrie Award 2006 untuk Kesusastraan di Hotel Nikko Jakarta, Jakarta, Senin (14/8) malam. Selain Rendra, dua tokoh lainnya juga menerima penghargaan dan hadiah uang yang jumlahnya sama, Rp 100 juta, yakni Arief Budiman untuk kategori Pemikiran Sosial dan Iskandar Wahidiyat untuk kategori Kedokteran.
Pidato tersebut berbeda dengan naskah pidato resmi Rendra yang dicetak pada booklet acara malam itu, dan tentu saja membuat kaget seluruh hadirin. Bermacam-macam reaksi mengiringi kekagetan itu, ada yang tertawa ngakak, ada yang bertepuk tangan, tetapi ada juga yang diam saja.
Bukan Rendra apabila dia tidak nakal dan aktual. Sebuah pidato penerimaan penghargaan yang seharusnya resmi dibacakan dengan gaya membaca puisi-puisinya—suara menggelegar dan intonasi khusus pada kata- kata tertentu yang membuat orang tercekat. Isinya pun nakal, menyentil langsung sang pemberi penghargaan yang kebetulan adalah salah satu pemilik perusahaan penyebab tragedi banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Semua orang tahu bencana itu adalah masalah besar paling aktual yang terjadi di dalam negeri saat ini. "Tiga desa telah tenggelam dan tidak bisa dihuni lagi. Lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan terpaksa tutup dan menimbulkan masalah sosial ekonomi. Delta Sungai Brantas yang subur, yang proses pembentukannya berabad-abad melebihi usia peradaban manusia, hancur tertimbun lumpur untuk selamalamanya," papar Rendra puitis.
Sentilan terhadap kelambanan penanganan tragedi yang dramatis tersebut dilakukan dengan halus dalam bentuk harapan. "Tetap saya yakin bahwa Keluarga Bakrie tidak akan berpangku tangan dalam hal ini. Keluarga Bakrie pasti akan mengerahkan segenap usaha untuk bertanggung jawab atas kecerobohan pekerja dan orang-orang di PT Lapindo Brantas." Kata "pasti" diucapkan Rendra dengan penekanan dan suara menggelegar.
Itulah Rendra, penyair, sastrawan, aktor, dan sutradara teater kelahiran Solo, 7 November 1935. Dalam keterangan resmi Freedom Institute sebagai lembaga yang menyeleksi dan memutuskan penerima penghargaan ini, disebutkan bahwa Rendra terpilih sebagai penerima Achmad Bakrie Award 2006 karena dia telah menunjukkan jalan lain perpuisian Indonesia.
Rendra disebut telah membuat sebuah pengecualian dalam arus utama perpuisian Indonesia modern yang didominasi sajak-sajak liris. Puisi Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. "Membuat ia menempati posisi yang begitu unik, hampir seperti satuan tersendiri, dalam ranah sastra Indonesia," demikian penggalan bunyi pernyataan tersebut.
Kepedulian terhadap dunia sekitarnya terekam dalam karya-karya Rendra. Simak beberapa karya besarnya, seperti puisi Sajak Sebatang Lisong (1978), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), dan Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta! (1970-an) atau karya-karya pementasan teater seperti Perjuangan Suku Naga (1975) dan Panembahan Reso (1986), sarat berisi kritik sosial terhadap berbagai hal yang terjadi di masyarakat pada waktu itu—yang kadang masih tetap relevan sampai sekarang.
Tumbuhnya kesadaran
Dalam pidato tertulis penerimaan Achmad Bakrie Award 2006, yang seharusnya ia bacakan, Rendra menuturkan, kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya oleh seseorang bernama Janadi. "Mas Janadi menjadi guru pribadi saya sejak saya berumur 4,5 tahun," tutur penyair bernama asli Willybrordus Surendra Broto Rendra, mengenang masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah.
Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat "Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi" yang artinya kurang lebih: "masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah". "Masuk dalam kontekstualitas itu bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih)," papar pria yang akrab dipanggil Willy ini.
Rendra juga diajarkan untuk menyadari landasan hubungan antarmanusia dalam konteks emansipasi individu yang digambarkan dalam kalimat "ananingsun marganira, ananira marganingsun" (aku ada karena kamu, kamu ada karena aku). Kalimat itu juga yang ia kutip malam itu untuk mengkritik Freedom Institute yang mendukung sistem perdagangan bebas.
"Emansipasi individu yang peduli akan kesetaraan hak hukum, hak sosial, dan hak politik antarsesama manusia harus dengan kesadaran bahwa kekuasaan modal, distribusi, dan energi, tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak dengan kebebasan yang romantis dan cengeng. Sebab, itu akan mengganggu kemaslahatan orang banyak." (Kompas, Rabu, 16 Agustus 2006)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Penghargaan:SEA Write Award Tahun:1990 Penerima:Arifin C. Noor Biografi
Arifin C. Noor lahir 10 Maret 1941 di Cirebon, Jawa Barat dan meninggal 28 Mei 1995 di Jakarta. Ia adalah seorang penyair, aktor, penulis lakon, dan sutradara. Ia menulis puisi dan drama sejak duduk di SLTA. Kecintaannya kepada puisi dan teater berkembang di Yogyakarta sekitar tahun 60-an melalui Lingkaran Drama Rendra dan Teater Muslim. Sejak pindah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil (1968), Ia semakin mengggeluti dunia kesenian. Puluhan lakon, baik karyanya sendiri maupun karya terjemahan, sukses disutradarai dan dipentaskannya. Ia memperoleh Anugerah Seni dan Pemerintah Indonesia (1972) dan Hadiah Sastra ASEAN (1990). Selain itu, iajuga mendapat Piala Citra dan FFI dan Piala Golden Harvest dan FFA. Dramanya antara lain: Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah Jalan Kecil (1963), Tercinta (1963), Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-umang (1974). Sondek, Pemuda Pekerja (1979) dan Sumur Tanpa Dasar (1989). Kumpulan sajaknya: Nurul Aini (1963), Siti Aisah (1964), Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi (1967), dan Selamat Pagi, Jajang (1979). Selain itu, ia juga menyutradarai beberapa buah film, antara lain, Suci Sang Primadona (1978), Harmonikaku (1979), Sumur Tanpa Dasar (1989), dan Serangan Fajar (1981).
Komentar
Posting Komentar