MAKNA SIMBOLIS “PEREMPUAN GERABAH”
MAKNA SIMBOLIS “PEREMPUAN GERABAH” Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Apresiasi Drama Indonesia Oleh: Marjan Fariq 081268 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SASTRA DAN BAHASA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2010 MAKNA SIMBOLIS “PEREMPUAN GERABAH” Oleh: Marjan Fariq Bismillahirrahmanirrahim. Perempuan Gerabah adalah kenyataan pahit dari masyarakat kapitalisme modern sebagai peronifikasinya. Modernisme atau bahkan kini meningkat menjadi pos modernism yang diagungkan manusia ternyata memiliki banyak ketimpangan. Ia rela diperintah serta mau melakukan apa yang diharapkan, seperti ditempatkan dalam mesin sosial tanpa banyak rewel. Ia diarahkan tanpa paksaan, dipimpin tanpa pemimpin, didorong tanpa tujuan. Ia menciptakan sesuatu, selalu bergerak, selau berputar, selalu berfungsi serta tak pernah menyerah. Ia terjebak dalam rutinitas yang ketat, dalam kerja-kerja mekanik. Ia kehilangan arah transendensi. Menghancurkan dan membangun. Makna ini lebih sederhana karena lebih mudah dipahami setelah menonton teater Perempuan Gerabah yang pementasannya dilakukan di ruang terbuka. Akan tetapi kesan yang didapatkan tentu tidak sesederhana memaknainya. Ada banyak sisi hermeneutis yang perlu dipaparkan lebih lanjut. Sebab teater yang disutradarai Nandang Aradea ini menantang penontonnya untuk menafsirkan sebebas-bebasnya. Artinya, pemaknaan terhadap Perempuan Gerabah diserahkan kapada penikmatnya. Teater yang saya tonton di halaman Hot FM ini menampilkan beberapa symbol yang perlu saya ketengahkan di sini. Diantaranya, ada tanah, gerabah, air, alat pembuat gerabah, perempuan, beberapa pakaian dalam yang telah disimpan dalam gerabah, bahkan symbol yang ada di luar isi teater, yakni panggung yang dipakai pementasan menggunakan panggung hidrolik lingkar dengan diameter 3.8 meter yang dapat berputar secara motorik seperti halnya tempat pembuatan gerabah. Panggung ini adalah hasil transformatif dari bentuk “mesin” gerabah itu. Tanah adalah diri kita, tubuh yang selalu kita bawa kemana-mana, Adam diciptakan dari tanah, kita sebagai keturunannya diciptakan dari saripati tanah, kita memiliki hubungan yang dekat dengan tanah, petani bekerja dengan tanah, jalan raya berada di atas tanah, bata genting dan gerabah adalah tanah, gedung-gedung tertancap kuat di atas tanah. Tanah adalah salah satu sumber kehidupan. Bahan utama gerabah adalah tanah. Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar untuk kemudian dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan. Asal mula gerabah diperkirakan telah ada sejak zaman manusia purba. Di situs-situs bersejarah, telah ditemukan banyak gerabah kuno yang berfungsi sebagai perkakas rumah tangga. Pertanyaannya adalah mengapa harus tanah? Salah satu jawabannya adalah bahwa hal itu menggambarkan protes akan kepedihan para petani, yang tertindas karena hasil panennya lebih banyak dinikmati orang kota. Kayu-kayu dari hasil mereka menanam puluhan tahun hanya bisa dinikmati orang kota dengan uangnya yang berlimpah. Selanjutnya tentu dikarenakan filsafat tanah akan mengena pada manusia yang tahu siapa dia sebenarnya. Pertunjukkan memperlihatkan aksi seorang petani gerabah perempuan yang bernama Rasmi Bin Maskad (50), mempraktikkan cara membuat gerabah dengan gerakan seolah-olah membangun dan menghancurkan. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pentas teater ini, mulai dari kritik sosial dan juga etos kerja. Istilah membangun dan menghancurkan diartikan dengan beraneka ragam asumsi masyarakat yang kritis. Aksi-aksi pemain lainnya lebih ekstrim. Mereka memuja gerabah sebagai metafor manusia yang mengagungkan hasil karyanya yang diklaim ikut andil dalam kemajuan teknologi. Padalah sebagian besar dari ciptaan manusia ini lebih merusak dunia sehingga mempercepat kehancurannya. Lalu kemudian aksi dilanjutkan dengan menghancurkan beberapa gerabah sebagai metafor manusia yang menghancurkan bangunan-bangunan buatannya dalam sebuah peperangan. Manusia-manusia zalim yang membom, mereka yang menghancurkan tempat-tempat ibadah, aparat yang menggusur lahan ini dan itu, membongkar paksa, membakar pasar dan banyak ketimpangan lainnya. Namun kemudian gerabah itu dipuja lagi, diperebutkan, setiap pemain satu sama lain menginginkan gerabah yang sama, gerabah yang lebih besar. Begitupun manusia yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini. Demi satu kursi mereka rela memutuskan tali persaudaraan, bermusuhan, saling fitnah, saling cerca, memutarbalikan fakta, bersilat lidah dan jurus-jurus lainnya untuk melumpuhkan lawan-lawan politik. Setelah kekuasaan itu didapat, ia sendiri menghancurkannya. Tidak jarang para penguasa itu tiba-tiba dijerat KPK, terjerumus skandal seks, dan perbuatan amoral lain yang merupakan ulahnya. Tidak heran jika gerakan para lakon selanjutnya adalah membelah gerabah besar itu, membaginya menjadi berkeping-keping. Ada pula gerakan menari bersama, ya, mereka rukun, menyatukan aspirasi seolah-olah memetaforkan politik kepentingan yang diperlihatkan sebuah koalisi partai. Para lakon teater ini begitu riang, gembira, bahasa tubuh mereka menunjukkan suka cita. Namun kemudian berubah marah, mereka murka, satu persatu terpelanting ke bawah panggung. Tinggal seorang, ia menari sendiri. Ia menunggangi gerabah, lalu kawin dengannya. Salah satu lakon yang dimainkan pria tambun ini terlihat bersenggama dengan gerabah. Lalu temannya yang di bawah meniru rupa alat kelamin dengan beberapa gerabah di kepala dan dua tangannya. Setelah itu terjadilah ritus kawin tanah yang menjijikkan. Keadaan demikian mengingatkan saya akan sebuah kesadaran yang perlu dipahami. Yakni, alangkah menjijikannya orang-orang yang berlebihan dalam mencintai harta. Mereka lupa dengan kawan-kawan di sampingnya. Orang-orang ini berpesta ria di tengah kumpulan penderitaan. Ironis, itulah hal sebenarnya. Pentas teater yang dilakoni enam orang ini sebenarnya menyuguhkan penafsiran di luar konteks seperti metafor-metafor yang disebutkan di atas. Bolehlah saya mengapresiasi bahwa Perempuan Gerabah memang menarik, ia menyuguhkan semesta yang kecil (kegiatan membuat dan meghancurkan gerabah) untuk memperlihatkan semesta yang kecil pula (dunia manusia). Tidak ada dialog di dalamya. Tidak salah jika ini dinamakan teater tubuh, akan tetapi teater tubuh bukan berarti anti pada kata. Kata-kata ditinggalkan manakala tubuh atau bentuk, bunyi, dan gerak merasa lebih mewakilli, lebih jujur. Sekali lagi perlu saya katakan dengan bahasa yang berbeda mungkin bahwa Perempuan gerabah memiki banyak penafsiran. Orang lain boleh berbeda pendapat dengan saya tentunya, saya dan segala keterbatasan yang saya miliki hanya bisa menuliskannya sampai di sini. Wallahualambissawwab.
Komentar
Posting Komentar