RESPON LOGIKA (pada matakuliah Logika)

RESPON LOGIKA

(pada matakuliah Logika)

Oleh Marjan Fariq

Hadirnya Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemei, Galileo, Einstein, Hawkins, menegaskan persepi bahwa ilmu logika hanyalah hasil dari pemikir Barat. Tentunya hal ini mesti dipertanyakan. Sedemikian akutkah kita melahap semua pemikiran Barat? Barangkali hal seperti ini justru menimbulkan subjektifitas dalam ilmu logika. Sebab, pemikirannya timpang, serta memandang sebelah mata pendapat para pemikir Timur.

Hal yang perlu ditegaskan sebenarnya mengenai posisi pemikir ‘Logika’ diantara Aristoteles sampai kepada Ptolemei ataupun Galileo. Dimanakah posisi Al-Ghazali dan ibnu rusyd?, terutama pemikiran Abul Walid Mohamamd ibnu Rusyd, nama panjang Ibnu Rusyd, yang berbeda pada masanya ia melahirkan gejolak intelektual yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga kemudian mampu mengubah pemikiran sosial di abad pertengahan Islam dan Latin-Kristen. Di sisi lain, pemikirannya menjadi pemicu terjadinya gerakan Renaisans yang selama ini diakui sebagai tonggak penting dalam sejarah peradaban Barat. Cendekiawan Roger Bacon menempatkan Ibnu Rusyd setelah filsuf Muslim lainnya, Ibnu Sina dan filsuf Yunani, Aristoteles.

Etienne Gilson menyatakan Ibnu Rusyd telah menjadi pelopor rasionalisme. Bahkan Dalam karyanya yang berjudul Reason and Revelation in the Middle Ages, Gilson mengatakan, pemikiran filsafat Ibnu Rusyd merupakan rasionalisme murni, jauh sebelum berkembangnya pemikiran serupa saat renaisans di Italia. "Rasionalisme telah lahir di Spanyol dalam pikiran seorang filsuf Arab."

Begiutupula dengan Al-Ghazali, ia banyak mengkritisi pemikiran para filsuf Yunani yang mengagungkan naturalisme serta mengesampingkan aspek-aspek ketuhanan dalam pemikirannya meskipun ia mendukung penuh pemikiran lainnya yang menambah wawasan pengetahuan moderen seperti ilmu fisika, matematika dan sebagainya.

Hal yang lebih mengherankan adalah penempatan fisikawan Steven Hawkins dalam jajaran para pemikir ini. Apakah karena ia lebih dulu menemukan matahari-matahari yang lain, atau karena teori ledakan besar (Big Bang), atau bahkan karena pendalamannya mengenai gravitasi Newton sehingga menafikan peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Justru pemikiran Hawkins ini lebih kepada spekulatif. Untuk menelusuri asal muasal alam semesta ia cenderung lebih banyak berangan-angan. Lalu apa gunanya bantahan Galileo terhadap spekulasinya Aristoteles? Ini seperti langkah mundur pemikiran logika. Memasukan Hawkins adalah tindakan yang terburu-buru. Kemudian ada dampak lain yang perlu dipertanyakan, sebab persepsi ilmu logika hanya untuk pengetahuan yang bersifat saintis seakan lebih dikuatkan. Tentu ini bertolak dengan moderenisme atau bahkan posmoderenisme.

RESPON LOGIKA

Kelompok 2

Oleh: Marjan Fariq

Sebenarnya apa yang disampaikan kelompok dua mengenai intervensi observasi masih memiliki kekurangan. Tidak dijelaskan bagaimana observasi dijadikan landasan sebuah teori. Apa keunggulan observasi sehingga diyakini mampu menjadi pondasi untuk sebuah teori. Jujur sampai penjelasan ini, saya kurang faham dengan cara observasi menjadikan teori memiliki validitas.

Satu hal yang perlu digarisbawahi yaitu, sebuah kebenaran yang objektif tidak bisa diyakini sebagai sesuatu yang paling benar. Ilmu pengetahuan yang dikatakan objektif seringkali terbantahkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dalam mengkaji sebuah ilmu. Artinya, hal yang paling mendasar yaitu, tidak ada satupun yang paling objektif.

Observasi yang memiliki banyak kelemahan diintervensi sebagai dasar yang memadai untuk ilmu pengetahuan. Jika bertolak seperti ini sudah barang tentu objektifitas itu dipertanyakan. Jadi sebenarnya kebenaran itu harus dicari dengan apa?

Masa kita tidak bisa berpegang dengan satu kebenaran pun? Lalu untuk apa ilmu-ilmu yang kita pelajari jika keadaannya masih dipertanyakan alias tidak diyakini secara pasti? Semuanya merupakan keragu-raguan (kebalikan dari tidak pasti).

Suatu saat bukan hal yang mustahil jika ilmu-ilmu atau teori-teori yang selama ini kita pegang terbantahkan oleh pengetahuan/penemuan kontemporer. Bagaimana jadinya jika pemahaman kita ditertawakan nantinya oleh generasi masa depan karena ketidaktahuan akan kebenarannya? Sebagaimana kita menertawakan pengetahuan usang dari para ilmuwan terdahulu, seperti teori yang menyatakan Bumi ini rata tidak bulat, atau mengenai pemahaman bahwa matahari itu mengelilingi Bumi, dan sebagainya.

Menurut saya, hal-hal mengenai perkembangan ilmu pengetahuan memang tidak bisa dihindari. Kebenaran memang tidak ada yang ‘absolut’ kecuali beberapa hal yang metafisik. Namun, bagaimana pun kita mesti berpegang pada teori yang dianggap benar walaupun hanya sementara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH DRAMA LUMPUR KEMISKINAN

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA “MONUMEN” KARYA INDRA TRANGGONO

ANALISIS SKRIPSI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) BAHASA YANG BERJUDUL “PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA SD MELALUI PENDEKATAN PEMROSESAN INFORMASI” KARYA MULYATI