MENYOAL KARYA DUA MAESTRO

MENYOAL KARYA DUA MAESTRO

Ulasan Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami
Cukup mengagetkan membaca cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya Haji Ali Akbar Navis. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Mengagetkan juga ketika dengan lugas penulis yang meninggal di usia 78 tahun ini menceritakan percakapan Tuhan dengan manusia.
Banyak diantara para penulis yang telah mengulas kumpulan cerpen ini, terutama cerpen yang menjadi judul bukunya. Seperti yang sudah ditulis oleh Aldon Samosir yang berjudul Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami, Muhammad Ikhlas dan yang lainnya. Namun diantara banyak ulasan itu, saya tidak menemukan ada yang mengomentari hal yang akan saya utarakan. Yakni, ada tokoh tua dan ada tokoh muda yang menjadi tokoh utama dalam kumpulan cerpen A.A. Navis. Lalu ada pergulatan pemikiran antara tokoh tua dengan tokoh muda. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, pemikiran Kakek sebagai tokoh utama yang menjadi penjaga surau dibenturkan dengan pemikiran Ajo Sidi sebagai representasi dari pemikiran penulisnya. Meskipun pada cerpen tersebut sebenarnya A.A. Navis lah yang bertindak sebagai Aku. Yang pada akhirnya justru beliau mengkritisi pemikiran tua-muda ini.
Pemikiran kakek yang kuno mengenai ibadah yang semata-mata hanya shalat, dzikir, puasa, dan sebagainya ditentang oleh pemikiran baru yang menyatakan bahwa ibadah tidak hanya ibadah vertikal antara manusia dengan Tuhannya melainkan harus juga ada ibadah horisontal yakni manusia dengan sesamanya. Begitulah pemikiran Ajo Sidi. Tidak heran jika ia menyalahkan perilaku kakek selama hidupnya.  Meskipun begitu, kakek tidak terima dengan pemikiran si pembual Ajo Sidi. Ia lebih baik bunuh diri tinimbang menyadari kesalahannya. Begitulah orang tua kira-kira, mereka selalu keras kepala.
Apa lacur, pemikiran Ajo Sidi mengenai keseimbangan dalam beribadah ini kemudian berbelok ke arah yang salah. Masyarakat yang memahami bahwa bekerja juga merupakan ibadah, kemudian melupakan ibadah yang seperti kakek lakukan. Akibatnya surau itu perlahan tapi pasti roboh ditelan zaman. Inilah hal yang paling dikritisi oleh A.A. Navis. Surau menjadi simbol dari tata nilai. Artinya, tata nilai masyarakat kita sudah runtuh.
Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition (1953) telah memberikan pondasi yang mendasar untuk mengungkap makna tekstual dan makna referensial sekaligus. Ada empat komponen utama yang berkaitan dengan sastra, yakni karya sastra (work), kenyataan (universe), pengarang (artist), dan pembaca (audience). Secara garis besar saya sebagai pembaca menangkap pesan (message) yang disampaikan A.A Navis  sebagai pengarang melalui kumpulan cerpennya, yang tentunya ditulis berdasarkan pengalaman batin, pengalaman literer, maupun pengalaman yang ditangkapnya dari kenyataan, dari kehidupan sehari-hari. Dalam cerpen Robonya Surau Kami, saya menangkap kesan dari A.A. Navis yang terlahir di Sumatera Barat ini bahwa beliau memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai religius. Terutama terhadap agama yang ia anut.
Orang tua lainnya hadir pada cerpen Anak Kebanggaan. Karakter Ompi sebagai orang tua dari Indra Budiman sama seperti orang tua pada umumnya. Ia keras kepala. Sampai ia sakit keras karena sifatnya. Sifat para orang tua ini ditegaskan pula oleh orang tua selanjutnya dalam cerpen Nasihat-Nasihat. Orang tua ini berkali-kali mengatakan kalau dirinya sudah tua dan tentunya berpengalaman.  Katanya “ aku sudah tua. Sudah banyak perngalaman. Aku sudah mengerti benar segala sifat dan fiil manusia. Bahkan dari setiap muka seseorang aku dapat membacanya. Tentang itu aku takkan silap. Percayalah.”(Navis, 2010:33) Atau katanya “kau masih muda. Sedang aku sudah tua. Sudah lama hidup dan banyak pengalaman. Aku sudah tau betul akan kongkalikong hidup manusia ini.” Tokoh orang tua ini berlainan pikiran dengan Hasibuan (si muda) yang dikira selalu mengikuti nasihat si tua, namun ternyata Hasibuan mampu mengalahkan pemikiran orang tua dengan telak.
Tokoh muda yang menjadi tokoh utama dalam cerpen Penolong menggambarkan pemuda yang memiliki jiwa idealisme, namun tidak siap untuk mengaktuaktualisasikan dirinya. Buktinya saat ia dituntut untuk menjadi penolong, ia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Klimaksnya, ia sampai tidak sadar kalau orang gila telah mendahuluinya menolong seorang gadis yang terjepit rangka kereta dengan cara yang tidak disukainya, yakni memotong kaki gadis itu dengan kampak. Alih-alih menyelamatkan nyawanya, gadis itu malah meninggal dunia. Pemuda yang labil ini pun akhirnya menjadi gila.
Lantas, saya melihat konteks dari cerpen-cerpen yang ditulis A.A. Navis ini. Sepertinya pergulatan pemikiran tua-muda, tradisional-moderen, pemikiran usang dan kontemporer akan terus berlangsung sepanjang masa. Selama di dunia ini masih ada kaum muda dan kaum tua. Ada kalanya pemikiran tua yang benar banyak pula pemikiran muda yang justru relevan. Menyoroti fenomena ini lalu menjadikannya tema cerpen tentu membuat karya ini menarik. Lebih segar, dan selalu terasa baru.
Selain menyoal tokoh, saya pun melihat diksi yang dilakukan A.A. Navis  mencerminkan kalau karyanya adalah karya dengan gaya tempo dulu. Sesuai dengan zaman di kala cerpen-cerpennya ditulis. Perhatikan diksi dari wacana berikut. Sekali benar aku datang pula pengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya...”(Navis.2010:2-3) di zaman sekarang pilihan kata seperti ini kemungkinan besar sudah tidak dipakai para penulis. Tidak ada yang salah memang. Namun kenyataannya, hal semacam ini sangat mempengaruhi ketertarikan pembaca sekarang untuk memutuskan membaca karya ini atau tidak.
Tentunya, tidak banyak lagi orang yang menyukai karya yang katakanlah kuno. Saya sadar, memang perkembangan kebahasaan tidak bisa menjadikan sebuah karya itu dinamis. Tapi, karya A.A Navis ini tidak benar jika dikatakan tidak laku. Buktinya sampai tahun sekarang (2010) buku kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami masih dicetak hingga cetakan ke enam belas. Dan mendapat kategori Nasional Best Seller. Apa rahasianya? Itulah yang saya katakan menarik tadi. Tema yang A.A Navis kembangkan bukanlah tema yang mudah usang sejak pertama memakainya. Sebuah tema yang dinamis.

Ulasan Kumpulan cerpen Zigzag
            Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya penulis yang tela mengasilkan lebih dari seribu cerpen ini banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Demikian pula karya-karya Putu Wijaya banyak dipergunakan sebagai objek penelitian bagi penyusunan skripsi oleh mahasiswa fakultas sastra. (Zulmasri 2008). Cerpen dan karya-karya Putu Wijaya menarik dan dikenal oleh masyarakat, sehingga menarik untuk dianalisis.
            Dari para penulis yang menganalisis karya Putu Wijaya ini, kita lantas mengetahui bahwa gaya penulisan Putu selalu “bertolak dari yang ada”  guna menciptakan “teror mental”. Bahkan Putu Wijaya pun mengakui bahwa dirinya terpengaruh oleh kebiasaan orang Bali yang disebut “desa-kala-patra” yakni kesatuan antara “tempat-waktu dan suasana”. (Wijaya, 2003: 453). Selain itu, ada juga beberapa analis yang tertarik dengan judul-judul cerpen Putu yang selalu pendek bahkan seringnya hanya satu kata.
            Judul-judul ini disebut-sebut sebagai keunikan dari Putu. Namun saya memiliki sedikit pendapat yang berbeda. Judul-judul cerpen Putu yang pendek sangat menyinggung perasaan saya sebagai penulis pemula dan juga mereka yang sebaya dan senasib dengan saya. Terus terang, saya selalu susah untuk membuat judul sebuah cerpen. Sebaliknya dengan Mbah Putu, ia sangat mudah membubuhkan judul. Ia seolah melecehkan kami betapa gobloknya kami yang selalu berpusing-pusing dengan judul tanpa menghasilkan karya yang bermutu. Tapi itu memang benar. Tujuan Putu mungkin untuk menyadarkan kita bahwa untuk menulis tidak harus terpaku pada aturan-aturan yang kaku. Kita dibebaskan meskipun hasilnya meliuk-liuk. Bukan hal yang tak mungkin jika Mbah Putu pun sebelumnya memiliki masalah yang sama dengan para pemula lainnya.
            Putu Wijaya adalah orang Bali yang dalam karya cerpennya cukup sering menghadirkan khazanah kebaliannya. Saya memang tidak tahu persis pemikiran penulis yang bernma lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya ini seperti apa. Namun lewat karya-karyanya saya dapat menemukan beberapa pikiran Mbah Putu. Beliau selalu menakar sesuatu secara berlainan. Pun dalam kumpulan cerpen Zigzag yang saya baca, Mbah Putu selalu bergaya demikian pada setiap cerpen yang ditulisnya. Meliuk seperti zigzag.
            Sebut saja cerpen yang berjudul “Hantu”. Tadinya Oom Amin yang sangat terhina dan merasa tidak dihargai tiba-tiba berubah pikiran. Ia mulai menyadari kalau realitas yang ia hadapi adalah sesuatu yang berharga. Dengan menjadi hantu, ia merasa berarti bagi masyarakat. Dalam cerpen ini sebenarnya tidak ada kesimpulan mana yang sesungguhnya posisi yang benar menurut Putu. Dengan cerdas Mbah Putu menyuguhkannya begitu saja. Ceritanya memang seperti itu, tak lebih tak kurang. Begitupun dalam cerpen-cerpen yang lainnya. Putu memberikan kejutan dengan membalik pemikiran tokoh. Yang tadinya tidak mau diganti nama kemudian mau diganti, tapi yang tadinya memaksa merubah nama kemudian memaksa untuk tidak menggantinya saat yang punya nama itu berubah pikiran (baca cerpen “Nama”). Atau kita lihat tokoh Citra pada cerpen yang berjudul “Citra”, tadinya orang-orang memperebutkannya yakni saat ia begitu selektif memilih pasangan. Tapi saat ia menyadari arti cinta, tiba-tiba semua orang tidak mengenalnya lagi, bahkan penjaga pintu gedung pesta pun tidak mengenalinya. Hampir seluruh cerpen dalam kumpulan cerpen Zigzag diberikan sentuhan demikian.
            Saat pertama kali membaca karya Putu Wijaya, terus terang saya cukup kesulitan menagkap makna dari ceritanya. Saya harus berulangkali, membacanya atau lebih seringnya saya tidak meneruskan membacanya. Cerpen Mbah Putu yang pertama kali saya baca berjudul “ Peradilan Rakyat”, tidak termasuk dalam kumpulan cerpen Zigzag memang. Saat membacanya saya masih SMA, tidak banyak masalah politik yang saya pahami. Tapi cerpen itu saya kira membicarakan politik. Yang saya maksud banyak tidak dimengerti lantaran cerpen-cerpen Putu Wijaya tidak menyuguhkan kesimpulan. Dibiarkan saja, seperti saya katakan di atas.
            Selain itu, saya rasa, Mbah Putu cukup humoris. Ia menulis dengan sangat gamblang. Tidak ada sensor baginya, dalam kumpulan ini bahkan ada cerpen yang berjudul “Kentut”.  Simak paragraf pertamanya sebagai berikut

                        Ketika semua orang sedang khusuk melaksanakan upacara, Jeki tiba-tiba kentut. Duuuuuuuut. Satu kali. Tak ada yang menghiraukan.
                        Tetapi kemudian tatkala menyusul babak kedua, prot-prot-proottttt. Semua orang tertegun, terganggu, tetapi masih mencoba memaafkan, meskipun baunya bukan main.
                        Begitu muncul tembakan yang ketiga, dutttttttttttttttt, panjang dan keras, semua orang meledak tertawa. Upacara itu berkeping-keping berantakan kehilangan bobot. (Wijaya: 64)

            Begitulah Putu menyugukan apa adanya. Seenaknya, semaunya. Ngono Yo Ngono kalau kata Mohamad Sobary (Wijaya: xi)
            Tidak sedikit pula putu Wijaya menggunakan judul yang lebih aneh. Ada yang berjudul Dang, Was, Kring, Bal dan lainnya. Seolah menegaskan kembali bahwa judul itu tak harus panjang namun bukan berarti tidak ideal. Tak harus pula mencakup keseluruhan makna namun bukan berarti tak berarti. Terakhir, jangan cari cerpen yang berjudul Zigzag dalam kumpulan cerpen ini. Sebab, anda maupun saya takkan pernah menemukannya. Meskipun biasanya judul buku kumpulan cerpen diambil dari salah satu cerpennya yang terbaik.

Antara A.A.Navis dengan Putu Wijaya
            Baik Putu Wijaya maupun A.A. Navis, keduanya sama-sama merupakan sastrawan yang telah menjadi maestro. Kemampuan mereka menulis karya sastra patut diapresiasi. Aksi mereka layak untuk dijadikan panutan. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Banyak orang memperbincangkan cerpen Robohnya Surau Kami, banyak pula yang mendiskusikan cerpen-cerpen Putu Wijaya, meskipun lebih banyak karya drama yang ia buat. Keduanya sukses karena memiliki keunikan, memiliki  ciri khas, sebuah prasyarat komersialisme.
            Tentunya ada perbedaan yang terpagut jauh apabila menyoal gaya penulisan dua sastrawan ini. Kalau cerpen Robohnya Surau Kami ditulis Mbah Putu ceritanya pasti akan lain. Mungkin saja dalam beberapa saat pemikiran Kakek berubah dengan sendirinya meskipun tak ada tokoh Ajo Sidi.  Begitupun sebaliknya dengan cerpen karya Putu, jika A.A. Navis yang menulisnya, pastilah Oom Amin itu mempertahankan pendapatnya. Keras kepala seperti karakter dari beberapa tokoh A.A. Navis.
            Kedua sastrawan besar ini saya anggap meneruskan tradisi kesusastraan yang semenjak dulu tidak berubah dan mungkin tak kan pernah berubah. Pastinya mereka tidak setuju dengan hadirnya karya-karya kacangan semisal tinleet, komik, novel-novel remaja dengan bahasa remajanya, cerpen-cerpen “gaul”, dan sebagainya.  Sebab semua karya tersebut keluar dari jalur tradisi kesusastraan. Padahal saya pikir, karya-karya inilah yang diminati para remaja pada umumnya, itulah realitasnya.
            Dalam kajian sosiolinguistik, ada yang dinamakan Diglosia. Yakni pemisahan antara ragam resmi (ragam T) dengan ragam tak resmi (ragam R). Menurut C.A.Ferguson salah satu penyebabnya adalah tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T. Dampak dari tradisi ini menurut saya sangat besar terhadap minat baca masyarakat kita.
            Sampai hari ini, minat baca masyarakat Indonesia masih minim. Tidak ada kemajuan yang signifikan. Dampaknya, kualitas sumberdaya manusia negeri ini terlangkah jauh dari negara-negara maju. Penyebabnya saya yakin salah satunya karena pembatasan jenis bacaan ini. Saya gambarkan seperti berikut: para remaja sebagai pemula untuk menjadi pembaca yang rajin, disesali jika bacaan mereka adalah cerita teenlit, komik, novel yang dianggap kacangan, majalah yang memakai bahasa gaul. Kemudian mereka diarahkan untuk membaca cerpen, novel, artikel, koran, majalah sastra, dan sebagainya yang jenisnya bacaan “serius”. Lalu mereka bosan, beralih ke bioskop nonton film terbaru. Ke warnet, chatting, ke rental Play station, ke diskotik, dan ke suasana lain yang di luar formalitas. Mereka pantas jika menyebut para pembaca yang rajin adalah kutu buku. Apalah artinya kutu di dunia ini. Akan sangat malu apabila mereka membaca buku di Bis, sambil menunggu antrian dan aktivitas positif lainnya. Apalagi jika mereka harus melakukan hal demikian di depan teman-temannya.
Seharusnya kita membebaskan para pemula ini membaca apa pun, kalau perlu mereka dibiarkan saja meskipun ketahuan membaca cerita-cerita seks. Setidaknya, bacaan-bacaan itu akan merangsang minat baca mereka. Jangan pernah melarang mereka membaca karya tulis kacangan, bukankah kacang itu lebih mudah dicerna? Dengan begitu, para pemula ini akan terbiasa dengan bacaan. Mereka akrab dengan tulisan-tulisan. Pada akhirnya mereka akan bosan dengan bacaan masa remajanya dan beralih di kemudian hari pada bacaan yang lebih bermakna.  
Dari dua kumpulan cerpen yang saya baca, saya terlalu luas mengomentarinya mungkin. Sampai-sampai pada masalah minat baca penduduk negeri kita tercinta. Sungguh hanya dari ini saja, terlihat cerminan masalah yang selama ini tidak dipermasalahkan. Padahal saya selalu berharap kejumudan pola pikir ini segera hilang. Katakanlah paradigma demikian sudah kuno. Mari kita beralih pada sudut pandang lainnya yang lebih moderat. Lebih demokratis, menuju pada kemajuan yang lebih luas yang kita harapkan.



DAFTAR PUSTAKA


Abrams. M.H. 1953. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Oxford University Press.
Harun, Afrizal. 2010.Putu Wijaya Sastrawan Serba Bisa. [online] tersedia: http://afrizalharun.wordpress.com/lentera-tokoh-teater
Navis, A.A. 2010. Robohnya Surau Kami. Cet.XVI. Jakarta: PT Gramedia
Samosir, Aldo.tt. Ulasan Cerpen “Robohnya Surau Kami”. [online] tersedia: http://www.aldonsamosir.co.cc diakses tanggal 16 November 2010
Wijaya, Putu. 2003. Zigzag. Jakarta: Pustaka Firdaus
_________. Tt. Lakon Teror Mental. [online] tersedia: http://www.dapunta.com
Zulmasri. 2008. ”Kebimbangan Pengarang dan Pendekatan Ekspresif”. [online]  tersedia: http://zulmasri.wordpress.com Diakses tanggal 10 November 2010

Komentar

  1. saya suka analisis kaka makasih sudah menginspirasi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH DRAMA LUMPUR KEMISKINAN

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA “MONUMEN” KARYA INDRA TRANGGONO

ANALISIS SKRIPSI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) BAHASA YANG BERJUDUL “PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA SD MELALUI PENDEKATAN PEMROSESAN INFORMASI” KARYA MULYATI