SUPARMAN

“Kelak kau akan jadi manusia hebat.” Ucap ibuku suatu hari. Tapi hebat apanya? Nyatanya hari ini aku lebih pantas disebut sampah masyarakat. Meski lulusan SMK aku layak disebut pengangguran kini. Untung aku masih bisa makan dari hasil menjual suara dan denting gitarku. Ah, sepertinya disebut menjual pun tak layak. Acap kali aku menganggapnya profesi meminta-minta. Bukan menjual suara layaknya pedagang menjajakan asongannya.
“ Pengamen setidaknya satu tingkat lebih tinggi dibanding peminta-minta. Bahkan sama dengan pedagang.” Komentar Si Buye di awal-awal aku mengamen.
“Dan yang penting bukan perilaku kriminal.” Balas Bang Lay yang kini disebut-sebut akan menjadi pengganti Bang Gunawan selaku ketua paguyuban pengamen jalanan.
Aku sendiri punya pendapat bahwa mengamen hanya boleh dilakukan apabila terpaksa. Tapi itu tak sempat terujar pada pembicaraan dulu.
“Jangan skeptis menilai seorang pengamen. Sebab ia telah menjadi salah satu pilihan pekerjaan. Kalau suara lo bagus dan bisa bermain musik bolehlah lo menjadi pengamen tanpa ada perasaan bahwa lo terpaksa mengamen karena tak dapat pekerjaan lain.” Bantah Si Kuncung saat aku menyampaikan aspirasiku. Aku tak dapat menyanggahnya. Itu pendapatnya, dan sepertinya juga ada benarnya. Tapi jujur, perasaanku tak dapat membohongi nuraniku kalau saja aku masih saja menganggap bahwa pekerjaanku kini tak jauh beda dengan peminta-minta. Aku pusing. Aku tak sudi jadi pengamen.
Terik matahari memanggang bis kota kami yang terparkir menunggu muatan. Aku berada di dalamya dengan peluh yang bercucuran. Sambil menyanyi dan memetik gitar. Beberapa pasang mata melirikku yang bernyanyi sangat antusias. Sebagiannya lagi mengikuti laguku meski hanya dibibir saja. Aku bernyanyti sambil tersenyum. Aku pikir, pengamen memang diperlukan. Setelah beberapa lagu kubawakan dan jok-jok sudah hampir penuh tiba saatnya untuk meminta beberapa recehan kepada para penumpang. Aku berhenti sejenak, berjalan ke depan, membuka plastik bekas bungkus permen, tapi kemudian aku loncat turun dari bis itu.
“Oi, kenapa lo?” teriak Bang Lay yang memperhatikanku.
“Nggak apa-apa Bang, saya cuma sakit perut.” Jawabku asal. Bang lay hanya menggelengkan kepala.
Oh… Tuhan. Aku benar-benar tak dapat berbuat lebih dari ini. Aku selalu benci jika harus meminta-minta. Bukankah itu uang mereka dari hasil pekerjaannya. Bukan diberi orang lain secara cuma-cuma. Kalau hanya untuk makan hari ini aku masih punya uang. Untuk apa aku meminta lagi. Aku masih muda, tak seharusnya aku meminta seperti orang cacad. Bahkan banyak orang cacad memiliki pekerjaan.
“Saya berhenti jadi pengamen bang.” Kataku pada Bang Lay.
“Kenapa lo? Sakit? Apa salah minum racun?” tanyanya bercanda.
“Saya sudah tak mau lagi jadi pengamen. Saya ingin jadi orang besar.”
“Hahaha… Man, pengamen juga bisa jadi orang besar… nih lihat.” Candanya lagi sambil memperlihatkan perutnya yang buncit.
“Saya nggak bercanda Bang. Saya benar-benar akan melangkah jauh lebih maju.”
“Mau jadi apa lo Man?”
“Jadi orang sukses. Dan yang pasti bukan pengamen lagi.”
“Ngomong apa si lo. Emang lo bisa apa si Man?”
“Saya berpikiran akan jadi orang sukses. Mulai hari ini saya akan bertindak untuk jadi orang sukses. Saya percaya penuh saya akan sukses. Saya akan berhasil bahkan di posisi yang tak pernah saya duga.”
“Sukses apa? Tai kucing. Lo benar-benar sudah minum racun ya.. ngimpi di siang bolong apa terlalu banyak menghayal? Atau lo kesurupan. Heh Man. SUPARMAN. Mana boleh lo sukses. Gue aja gini-gini mulu hidupnya. Gak pernah berpikiran lebih. Gue bersyukur udah jadi pengamen senior. Lo baru aja gabung udah maen ngayal segala. Emang lo mau bertindak apa Man?”
“Besok akan jadi pedagang asongan. Nantinya kalau punya banyak modal saya akan rekrut orang buat jadi anak buah. Nah, saya akan jadi bos pedagang asongan. Duit saya nambah banyak Bang. Saya akan buka toko. Saya akan buka bengkel kalau toko saya sukses. Saya akan punya istri dan anak2. Saya akan hidup bahagia. Mungkin akan memberi uang yang banyak buat pengamen selagi saya lewat. Apalagi jika ada peminta-minta yang mengelap kaca depan mobil saya Bang.” Begitu panjang lebar impian-impianku aku utarakan. Bang Lay terbengong tak percaya dengan hayalanku. Tapi aku akan menunjukkan kebenarannya. Aku percaya. Aku percaya. Aku percaya. Benar kata ibuku, kelak aku akan jadi manusia hebat. Dan beruntung karena kini aku percaya. ***(Tangerang, 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH DRAMA LUMPUR KEMISKINAN

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA “MONUMEN” KARYA INDRA TRANGGONO

ANALISIS SKRIPSI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) BAHASA YANG BERJUDUL “PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA SD MELALUI PENDEKATAN PEMROSESAN INFORMASI” KARYA MULYATI