KAPRAH
Oleh: Marjan Fariq

Ustadz Lutfi mengantarkan anaknya ke sekolah dasar. Saat sampai di SD Diki Muhammad Lutfi menyalaminya meskipun tak satu rupiah pun ayah Diki memberikan uang jajan padanya. Mungkin Diki tidak tahu kalau teman-temannya suka diberi uang jajan oleh ibu atau ayah mereka, yang ia tahu, teman-temannya dapat dengan mudah membeli jajanan yang dijajakan pedagang di SD-nya. Seperti anak pada umumnya, Diki juga menginginkan jajanan-jajanan itu sehingga seringkali ia meminta pada temannya. Meskipun tidak diberi uang jajan sebenarnya Diki selalu diberi bekal makan siang oleh ibunya. Tetapi Diki lebih sering membuangnya karena bosan.
Di rumahnya, ustadz Lutfi sedang menyimak berita di televisi, topik utamanya tentang zat-zat berbahaya yang terdapat pada jajanan anak sekolah akibat ulah oknum pedagang. 
"Tuh kan bu, jajanan anak sekarang itu banyak yang berbahaya." Seru ustadz Lutfi pada istrinya. 
"Tapi ibu kasian pak sama Diki jika tak pernah dikasih uang jajan.” Komentar Bu Lutfi. 
"Ah, ibu ini gimana sih bukannya mendukung Bapak, itu kan demi kebaikan anak kita juga. Tuh liat teman-teman Diki, sedikit-sedikit sakit, itu kan karena jajanan sekolah yang berbahaya. Masa makanan dikasih pewarna pakaian. Memangnya perut anak kita baju apa? Pikirkan bu kesehatan Diki. Jangan hanya kasihan-kasihan saja!" Kata Ust Lutfi panjang lebar. Seolah-olah sedang mengisi pengajian.
"Apa tidak ada cara lain pak untuk mencegahnya?" 
"Ya apa coba, kalau lebih baik solusinya apa?" 
Dibalik tanya seperti itu Bu Lutfi diam saja tak berkomentar. 
"Gak ada kan?" sambung ustadz Lutfi. 
Bu Lutfi tak bisa berkomentar. Ia pergi ke depan rumah. Diperhatikannya Diki sedang bermain dengan Rara. Ibu Rara menghampiri mereka. 
"Aduh Rara kamu jangan kotor-kotoran nak. Mama Diki, liat mereka kotor-kotoran kok didiemin! Sini Rara ikut mama pulang!" Bu Lutfi tidak berkomentar, ia pikir anak-anak tidak boleh disalahkan hanya karena kotor-kotoran. Kalau mama Rara yang kotor-kotoran baru deh boleh. Sambil tersenyum bu Lutfi mendatangi Diki yang berdiri tegap memandangi Rara yang meninggalkannya. 
"Kamu pulang juga ya sayang. Tuh liat sudah mau ujan!" Bujuk bu Lutfi. Diki menuruti perintah ibunya. Tangannya yang penuh lumpur ia lapkan ke bajunya yang kotor.
Di sekolah, guru kelas Diki memperhatikan tingkah Diki saat jam istirahat. Diki sedang sendiri, tak ditemani siapa pun. Ia menghampiri temannya yang baru membeli cimol, semacam baso dari tepung sagu yang digoreng. Tangan kanannya menengadah pertanda meminta cimol yang baru saja dibeli Anto, temannya.
“Apaan sih, beli sana kalau punya uang.” Hardik Anto yang enggan berbagi dengan Diki.
“Nyobain sih dikit, kalo enak aku beli deh ntar.” Ucap Diki yang kini sudah jadi anak kelas 2 SD.  
Akan tetapi Anto yang merupakan teman sekelasnya tetap bergeming. Ia melahap cimol itu sendirian meskipun bibir Diki begitu penasaran ingin juga mengunyahnya.
“Sini sih minta dikit!” teriak Diki sambil merebut bungkusan cimol yang dari tadi dipegang Anto.
Anto kesel bukan main. Ia berusaha mengambil cimolnya sebelum Diki memakannya. Akan tetapi Diki bisa berkelit, ia buru-buru memasukkan beberapa butir cimol ke mulutnya. Anto memukul pundak Diki sampai ia kesakitan dan menjatuhkan cimolnya sebab tangannya merasa pegal. Anto hendak mengambil cimolnya yang jatuh tapi ia lihat butir-butir cimolnya sudah berserakan di tanah sehingga ia urungkan niatnya. Anto makin marah pada Diki, ia menjambak rambut Diki dengan kasar. Diki berusaha menahannya bahkan tangannya secara tak sengaja dapat memukul wajah Anto.
“Huuu…huu…” terdengar suara tangis Anto yang kesakitan. Bu guru yang dari tadi memperhatikan mereka baru menemui Diki dan Anto setelah anak-anak yang lain mengerubungi perkelahian antara keduanya.
“Awas kamu yah hu…” teriak Anto sembari hendak membalas pukulan Diki.
“Sudah-sudah, jangan berkelahi” cegah Bu Hani yang menghampiri mereka.
“Kalian jangan berkelahi jika tak mau dihukum.” Lanjut Bu Hani.
Namun bukannya mendengarkan perintah ibu guru, Anto malah melanjutkan niatnya dan..
Buk ia meninju perut Diki cukup kencang. Kini giliran Diki yang menangis. Bu Hani menahan Anto. Ia menjauhkannya dari Diki karena masih berusaha memukulnya sekali lagi. Bu Hani bingung siapa yang harus dibela. Namun ia tahu siapa orang yang patut disalahkan atas perkelahian murid-muridnya yang tak lain adalah orang tua Diki.
Bu Hani tahu kalau Diki tak pernah diberi uang jajan oleh ayahnya. Suatu hari Bu Hani pernah memberi uang pada Diki supaya ia bisa jajan. Diki sangat senang karena bisa membeli jajanan kesukaannya dengan uang pemberian guru kelasnya. Ia menceritakannya pada ibunya. Ayah Diki mengetahui hal itu dan ia marah besar. Sebagai seorang pendidik tidak sepantasnya menjurumuskan anak didiknya. Pikir ustadz Lutfi. Ia geram, saat mengantarkan Diki ke sekolah ia menemui bu Hani dan mengkonfirmasi cerita anaknya. Bu Hani kaget ditemui ayah Diki dengan muka geram. Bu Hani mengiyakan apa yang diceritakan Diki itu benar. Ustadz Lutfi semakin geram. Ia marah besar.
“Saya tak pernah memberi uang jajan sama anak saya bukan karena saya tak punya uang.” Kata ustadz Lutfi sedikit keras.
“Saya melakukannya demi kebaikan Diki. Jajanan sekolah itu tak sehat, dan anda sebagai guru yang saya percaya untuk mendidiknya malah memberikan uang pada Diki. Anda ingin saya berterimakasih karena telah mengasihani anak saya. Cih, anda salah besar. Saya bahkan mengutuk tindakan anda. Saya sangat tersinggung dengan perbuatan anda. Jika anda melakukannya sekali lagi, saya akan pindahkan Diki dari sekolah ini. Dan tolong beri tahu guru yang lain untuk tidak melakukan kekeliruan seperti yang anda lakukan.” Sambung ustadz Lutfi panjang lebar.
Bu Hani yang diceramahi dengan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan hanya diam saja dan akhirnya mengangguk pelan. Ia tidak mau berdebat dengan ayah Diki waktu itu. Ia juga mengetahui memang banyak jajanan sekolah yang tidak menyehatkan.  Tapi ia juga selalu kasihan melihat Diki yang mungkin terganggu secara psikis meskipun fisiknya akan lebih sehat.
Setelah perkelahiannya dengan Anto, Diki tidak kapok untuk meminta makanan dari teman-temannya di hari-hari berikutnya. Beberapa temannya merelakan makanannya dibagi kepada Diki meskipun mereka terkadang kecewa sebab Diki tidak pernah berbagi dengan mereka. Namun sebagian besar teman-teman Diki lebih memilih menjauhinya sebab takut makanannya diminta. Diki jadi tidak disukai oleh teman-temannya. Ia dijauhi, dihindari seperti mengdindari kotoran. Ia bahkan dihina pada obrolan teman-temannya. Banyak sekali teman-temannya yang akhirnya tidak suka pada Diki. Begitu pun dengan Diki, ia tak suka sama semua temannya. Ia membenci Anto dan yang lainnya. Ia membenci ayahnya. Sebab kini ia tahu teman-temannya selalu diberi uang jajan sama ayahnya masing-masing. Sedangkan dirinya tak pernah sepeserpun menerima uang jajan dari ayahnya, yang ada adalah uang untuk menabung. Diki anak yang jujur, ia tak pernah berniat menjajankan uang tabungan yang diberikan ibunya. Diki patuh sama ibunya.
“Ini untuk nabung, jangan kamu jajankan ya sayang.” Ucap Bu Lutfi setiap kali memberikan uang pada Diki untuk tabungan sekolah. Dan hampir setiap hari ayah Diki memeriksa buku tabungan Diki.
Bu Hani berpikir keras untuk mencari pemecahan masalah yang dialami Diki. Ia tak mau anak didiknya ini terganggu mentalnya hanya karena kesalahan ayahnya. Ia sempat berpikir untuk melarang para pedagang berjualan di sekolah, akan tetapi ia urungkan niatnya. Bu Hani menemui para pedagang itu satu persatu. Menanyakan bahan-bahan apa saja yang mereka gunakan untuk membuat jajanan anak-anak, apakah menggunakan bahan berbahaya atau tidak. Sebagian besar mereka mengaku tidak menggunakannya apalagi setelah menyadari banyak pemberitaan di televisisi mengenai bahan-bahan makanan yang berbahaya.
“Kami juga punya anak bu guru, tidak jarang anak-anak kami juga memakan makanan olahan kami. Sehingga kami tidak mungkin menggunakan bahan yang berbahaya pada dagangan kami..” jelas salah satu pedagang mewakili para pedagang yang lain supaya mereka tidak dilarang berjualan di sekolah. Bu Hani manggut-manggut diberikan pengertian seperti itu. Namun ada salah satu pedagang yang mengaku memakai pewarna pakaian pada jajanannya dan ia berjanji untuk tidak menggunakannya lagi.
Pemberitaan media mengenai bahaya jajanan sekolah memang terlalu dirasa berlebihan. Tidak jarang para awak media itu menggiring opini masyarakat untuk mencegah putra-putrinya membeli jajanan sekolah. Bu Hani tak habis pikir mengapa rakyat miskin yang berusaha mencari nafkah dengan jalan yang halal ini diberikan stigma yang buruk.
Semakin hari Diki semakin dijauhi oleh teman-temannya. Ia lebih sering terlihat sendirian di dalam kelas saat jam istirahat. Ia tak mau keluar kelas sebab teman-temannya tidak mau berbagi dengannya. Percuma saja ia keluar kelas bila tak bisa jajan. Ia melihat ke sekeliling kelas. Tak ada siapa pun di sana. Ia melihat tas-tas teman-temannya di kelas itu. Diki memeriksa tas milik Anjani yang terdapat di bangku paling belakang. Di saku pertamanya ia menemukan beberapa uang ribuan. Diki tersenyum. Ia sumringah. Senang dengan apa yang baru saja ia temukan. Ia menaruh bekal makan siangnya di tas Anjani. Ia pikir tidak berdosa kalau ia mengganti uang Anjani dengan bekalnya. Buru- buru ia keluar kelas dengan uang ribuan di tangannya. Ia membelikan semua uang itu. Diki sangat puas karena akhirnya ia bisa jajan dengan uang temuannya. Pak Gugun heran saat melihat Diki membawa jajanan di tangannya. Ia tahu dari Bu Hani kalau ayah Diki tak pernah memberi uang jajan pada Diki, ia pun diwanti-wanti untuk tidak memberikan uang pada Diki. Tapi ia kini benar-benar heran. Dari mana Diki bisa membeli jajanan itu. Saat Diki asik memakan jajanan itu, Pak Gugun menghampirinya.
“Dari mana kamu punya uang untuk membeli jajanan itu Diki?” Tanya pak Gugun tegas.
“Saya menemukannya pak.” Jawab Diki
“Kamu nemu dimana?”Tanya pak Gugun menyelidik.
Diki takut sekali ditanya seperti itu. Ia tak pandai berbohong.
“Saya menemukannnya di …” Diki menggantungkan kalimatnya
“Dimana?” Tanya Pak Gugun Lagi
“Di saku tasnya Anjani pak.” Jawab Diki tak bisa mengelak.
“Itu namanya mencuri Diki. Kamu telah berbuat salah. Kesalahan kamu sangat besar. Besok orang tuamu harus menemui Bapak di kantor kepala sekolah.” Ucap Pak Gugun yang merupakan kepala sekolah itu tegas.
Mendengar berita anaknya mencuri Ustadz Lutfi sangat marah. Hatinya sakit karena ulah anaknya, bagaimana mungkin seorang anak ustadz yang kesohor di kampungnya itu bisa mencuri. Apa yang ia didik terhadap anaknya sendiri sehingga berbuat hal yang sangat tercela dan sangat dilarang agama.
“Ayah membencimu Diki. Kamu tak boleh keluar dari kamar ini.” Bentak ustadz Lutfi sembari mengunci kamar Diki. Bu Lutfi hanya bisa menangis meratapi apa yang terjadi dengan anaknya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang Bu… orang-orang pasti mencelaku gara-gara kelakuan anakmu! Aku ini ustadz bu… kenapa Diki melakukannya bu… kenapa?”
“Bapak pikirkan saja nasib bapak. Dasar egois. Istigfar pak istigfar. Pikirkan Diki, anak kita bukan hanya anakku. Diki mencuri pak, dan kesalahan sepenuhnya adalah kesalahan kita. Bapak tidak berhak menyalahkan Diki. Siapa yang diamanahi Allah untuk mendidik Diki Pak? Siapa? Kita pak. Ya Allah masih saja bapak memikirkan bagaimana bapak akan dicela oleh masyarakat. Bapak memang pantas dicela. Bapak terlalu over protective sama Diki. Jadinya begini kan pak. Bapak bukannya membangun masa depan cerah untuk Diki tapi malah menjerumuskannya pada kegelapan. Diki hanyalah anak-anak, ia juga harus seperti anak yang lainnya. Ia harus menerima uang jajan dari ayahnya. Tak ada yang salah dengan jajanan sekolah di SD Diki. Tanya sama Bu Hani, ia telah memastikan jajanan sekolah bebas dari bahan berbahaya, bapak juga sudah tahu berita itu, tapi bapak tetap saja kekeh. Bapak kekeh hanya karena bapak malu menarik kata-kata bapak sama Bu Hani untuk tidak pernah memberi uang pada Diki. Dari dulu ibu kasian sama Diki. Tapi Bapak selalu melarang. Melarang dan melarang. Tak pernah memberi solusi yang terbaik untuk Diki.” Begitu panjang lebar kata-kata Bu Lutfi keluar dari mulutnya. Seakan segala isi hatinya yang penuh kebencian tercurahkan hari itu.
Kini giliran Ustadz Lutfi yang tak bisa membantah. Ia bungkam. Entah apa yang dipikirkan. Ia meninggalkan istrinya beranjak ke kamarnya merenungkan bagaimana besok ia harus menemui kepala sekolah. Ia sangat takut anaknya akan dikeluarkan dari sekolah. Lalu ia pergi ke mushola tempat ia biasa shalat. Ustadz Lutfi mengambil wudlu, lalu shalat dua rakaat di mushala itu. Setelah itu ia meminta ampun kepada Allah. Banyak kata-kata istigfar yang keluar dari mulutnya.
Berita mengenai pencurian yang dilakukan oleh Diki merebak dengan cepat dari mulut ke mulut, dari cerita ke cerita. Setiap orang membicarakan kelakuan anak ustadz Lutfi yang tercela. Ibu-ibu arisan tidak kalah seru membicarakannya. Bahkan ceritanya semakin berkembang. Diki dikabarkan mencuri banyak uang dan sering mencuri dari tas teman-temannya. Mereka yang anaknya pernah kehilangan uang langsung menuduh Diki yang mencurinya. Mereka benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa ustadz Lutfi lupa mendidik anaknya sendiri sedangkan beliau sendiri sibuk kemana-mana menceramahi semua masyarakat yang bahkan tidak hanya di kampungnya saja. Dari komentar-komentar itu bahkan banyak orang menginginkan Diki dikeluarkan dari sekolah. Mereka menyampaikannya pada kepala sekolah untuk mengeluarkan Diki. Mereka takut anaknya ketularan oleh tingkah Diki, terlebih mereka takut Diki akan terus mengulangi perbuatannya. Tapi akhirnya mereka harus kecewa sama Pak Gugun karena hanya memperingatkan Pak Lutfi saat keduanya bertemu di kantor.
“Diki harus kami hukum sebagaimana aturan kami. Banyak guru-guru yang menginginkan Diki dikeluarkan. Akan tetapi saya lebih memilih untuk menskorsing Diki selama satu minggu. Saya memberikan kesempatan kepada Pak Ustadz untuk memperbaiki semua kesalahannya. Terimakasih” ucap Pak Gugun menutup pembicaraan.
Ustadz Lutfi terlihat diam saja. Pikirannya kemana-mana. Ia masih tertekan dengan kejadian yang menimpa anaknya. Rasanya kini ia tak pantas disebut ustadz. Ustadz artinya guru, guru adalah pendidik. Dan ia sadar betul bahwa ia telah gagal menjadi pendidik. Ia gagal menjadi guru bagi anaknya. Ia juga gagal menjadi ustadz bagi anaknya. Serta ia gagal menjadi ayah yang baik untuk Diki.
Sudah beberapa hari setelah kejadian pencurian Diki ustadz Lutfi enggan untuk mengisi ceramah yang menjadi tugas biasanya. Ia masih terpukul oleh apa yang dialaminya hari-hari yang lalu. Bu Lutfi mencoba menghiburnya, ia lebih terlihat tegar menghadapi semuanya.
“Sudahlah pak jangan keterusan dipikirkan. Ustadz juga manusia, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tidak patut juga apabila bapak terus-terusan disalahkan. Sekarang lebih baik bapak memikirkan nasib Diki. Tugas kita untuk mendidiknya tidak harus berhenti sampai di sini. Sudah cukup hukuman baginya. Jangan ia jadi korban. Besok Diki sudah bisa sekolah lagi. Pak Gugun tadi menelpon Ibu, katanya Diki akan diperlakukan sebagaimana biasa. Telah cukup skorsing baginya katanya pak.” Terang Bu Lutfi sambil berusaha hati-hati memilih kata-kata yang tepat supaya tidak menyinggung perasaan suaminya.
Terlihat senyuman di bibir ustadz Lutfi. Ia menemui Diki di kamarnya. Sambil menangis ia meminta maaf dengan tulus pada Lutfi yang hanya berusia 8 tahun.
“Maafkan ayah nak. Semua ini atas kesalahan ayah, ayah pikir ayah akan dapat melindungimu. Tapi semuanya salah besar. Maafkan kesalahan ayah ya nak. Besok kamu harus kembali lagi ke sekolah. Dan ayah akan memberimu uang jajan. Jangan boros meskipun ayah telah mengijinkanmu membeli jajanan sekolah.”
Diki mengangguk, ia agak heran melihat ayahnya bicara sambil menangis. Tanpa sadar tangannya ia rentangkan ke depan meminta dipeluk oleh ayahnya. Mata Ustadz Lutfi berbinar dan tubuhnya memeluk Diki dengan erat

.   Hari berikutnya ustadz Lutfi kembali dengan aktifitas biasanya. Ia mengisi ceramah di banyak pengajian. Untunglah kebanyakan masyarakat segera melupakan kejadian seminggu yang lalu. Obrolan-obrolan mereka kini telah berganti topik sesuai dengan apa yang sedang di beritakan di televisi. Ada yang membicarakan para koruptor, ada juga yang membicarakan selebritis dan yang lainnya. Masyarakat di sana begitu mudah menerima informasi, menceritakannya lalu melupakannya. Mereka sangat mudah digiring opininya namun sangat sulit untuk mengambil pelajaran dari apa yang mereka perbincangkan. Sekali lagi, untunglah.. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASKAH DRAMA LUMPUR KEMISKINAN

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA “MONUMEN” KARYA INDRA TRANGGONO

ANALISIS SKRIPSI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) BAHASA YANG BERJUDUL “PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK SISWA SD MELALUI PENDEKATAN PEMROSESAN INFORMASI” KARYA MULYATI